Aku mengayuhnya dengan tergesa. Sudah berapa kali kayuhan ini membuat
napasku mulai tersengal. Namun, aku tak bisa berhenti di pertengahan
jalan seperti ini. Ada seseorang yang menunggu kehadiranku. Kehadiranku
mungkin sangat berarti baginya. “Surya.. hah.. hah.. akhirnya Bapak
sampai juga di sekolahmu,” ujarku masih dengan napas tersengal seusai
memarkirkan sepeda di tempat parkir kendaraan.
Surya memandangku kesal. Mungkin aku sudah mengecewakannya dengan
datang terlambat satu jam dari jadwal seharusnya. Bibirnya terkatup.
Hanya alisnya yang terpautlah yang memberikanku jawaban tentangnya. Dia
menyerahkan buku raportnya kepadaku. “Ayo kita pulang saja, Yah,”
katanya kepadaku dengan memelas. Aku hanya bisa mengangguk dan menuruti
permintaannya. Sebenarnya ini kesalahanku. Andai saja aku bisa
mengerjakan tugas dari mandor lebih cepat pasti Surya tak akan kecewa.
Aku mengambil sepedaku dan menariknya ke luar dari barisan
mobil-mobil dan motor-motor mewah milik wali murid lainnya. Rasanya
napasku belum sempat tersambung seutuhnya, harus sudah mengayuh sepeda
kembali. Tak apa, semua ini demi anak tunggalku, Surya. Aku sangat
menyayanginya bahkan sebelum dia terlahir di dunia ini. Kehadirannya di
tengah-tengah keluarga merupakan anugerah yang sangat kami dambakan.
Walau pada akhirnya aku harus mengikhlaskan istriku untuk dipanggil ke
hadapan-Nya. Karena itulah Surya adalah satu-satunya kenangan
penghubungku dengan istriku.
Terkadang sedih melihatnya seorang diri di rumah kecil kami, menunggu
hingga maghrib seusai kerja. Namun, beginilah kondisi kami. Aku tak
berniat mencari pengganti istriku. Aku masih sangat mencintainya, dan
aku belum bisa pastikan apakah orang lain bisa menyayangi Surya seperti
aku menyayanginya. Maka aku putuskan merawat Surya seorang diri. Kayuhan
kesekian ratus dengan jarak tempuh 3 km akhirnya dapat ku taklukkan.
Aku menghela napas panjang. Meluruskan kaki yang sudah terasa mengeras.
Dan menyusul Surya yang masuk ke dalam rumah lebih dulu.
“Bagaimana raportmu?” tanyaku basa-basi untuk mencairkan suasana.
“Seperti biasa. Tidak juga bagus tidak juga buruk, Yah.”
“Oh.. hmm.. bagus kok ini.. mungkin kamu hanya kurang belajar saja.”
“Iya mungkin. Yah, sebenarnya tadi Pak kepala sekolah memberiku surat peringatan. Ini..”
Dia memberiku sepucuk surat beramplop cokelat dengan logo sekolahnya.
Sebuah surat yang mungkin membuatnya malu. Sebuah surat yang bahkan
membuat dadaku semakin sesak. Uang SPP yang menunggak selama 3 bulan
harus segera terbayarkan atau pendidikan Surya terhenti. Aku tidak bisa
membayangkan bagaimana perasaannya jika harus berhenti sekolah. Aku
tidak ingin nasibnya segelap nasibku. Dia harus terus bersekolah
bagaimana pun caranya.
“Surya…” panggilku kepadanya seusai membaca surat tersebut. Mendadak
aku segera memiliki ide untuk mengatasi persoalan ini. Mata kecil Surya
terlihat sembab. Sepertinya dia sedang membayangkan jika dirinya suatu
saat nanti akan berhenti sekolah. Namun, ayah janji tidak akan
membiarkan bayang-bayang itu menjadi nyata. “Ayah pergi dulu ya,” aku
berpamitan kepadanya untuk segera pergi. Mencari cara agar Surya tak
berhenti bersekolah. Dia tak lantas menjawab, hanya mengangguk dengan
masih terbalut rasa kecewa.
—
Aku sengaja berjalan kaki dari rumah ke sini. Menyusuri keramaian
pasar malam. Mengamati setiap pergerakan orang-orang yang sibuk menawar
barang atau sibuk bersenda gurau dengan teman-temannya. Satu per satu
kios makanan tak luput dari sorotanku. Makanan dengan aroma menggugah
selera itu mungkin bisa menarik banyak pembeli. Namun, bukan itu yang
aku cari. Aku masih berjalan. Mengamati segala aktivitas yang tercipta
di pasar malam tersebut. Dan aku berhenti di sebuah kios elektronik. Aku
memasukinya berharap menemukan sesuatu yang sedang ku cari.
Mataku hanya bisa mengamati ratusan HP terpajang cantik di etalase.
Puluhan laptop berjajar apik di atas etalase. Menyuguhkan pemandangan
berkelas pada kios ini. Pegawainya berjalan ke sana ke mari melayani
pembeli. Mengambilkan barang, menunjukkannya pada pembeli dan jika
pembeli menolak, barang akan kembali ke etalase. Aku duduk di kursi yang
masih kosong sembari mengamati ratusan HP dengan casing warna-warni
dengan fitur yang canggih. Baru beberapa saat aku mengamatinya, seorang
pembeli masuk ke dalam kios tersebut dan duduk di sebelahku. Seorang
wanita dengan pakaian mewah tengah bermain gadget. Dia mengamati sejenak
barisan HP yang terpajang di dalam kaca etalase.
Aku melongok, melihat ke dalam isi tas wanita tersebut. Sebuah HP
keluaran terbaru, dompet, dan beberapa benda tidak penting. Mungkin
cukup bagiku untuk mengambil dompetnya saja. Aku menggeser kursiku agar
lebih dekat dengannya. Mataku tak pernah berhenti mengamati pergerakan
pegawai kios ataupun pembeli yang lain. Bisa gawat jika aku tertangkap.
“Mbak.. ipad yang warna merah itu berapa harganya?” tanyanya seraya menunjuk ipad merah di sudut etalase.
Aku urung mengambil dompetnya. Menarik tanganku lekas-lekas tatkala
dia hendak mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Syukur, dia hanya
mengambil kaca. Dan sekarang dia sibuk berkaca. Pegawai kios yang tadi
dipanggilnya segera menghampirinya dan mengeluarkan ipad warna merah
tersebut. Mereka berdua membicarakan fitur, merek, harga, dan garansi.
Masa bodoh dengan semua itu. Aku hanya butuh dompet cokelat nan tebal
yang ada di tas cangklongnya.
Tanganku kembali terjulur setelah melihatnya tampak sibuk mencoba
ipad merah tersebut. Aku harus berhati-hati. Pergerakan yang salah dapat
membuatnya curiga dan sia-sialah semua ini. Keringatku mulai mengucur.
Mataku tak pernah berhenti mendelik melihat setiap orang yang ada di
kios itu. Cemas apabila ada satu orang saja yang mengetahui aksiku.
Kurang beberapa senti saja dompet itu dari jemariku. Namun, sepertinya
ada suatu barang yang menghalangiku.
“Ah, bentar ya Mbak..” ucap wanita tadi. Refleks, aku langsung menarik kembali tanganku dari tasnya.
Keringatku sudah membasahi tengkuk dan bajuku. Jantungku sempat
hampir copot ketika tiba-tiba dia memasukkan tangannya juga ke dalam
tas. Syukur, dia memasukkan tangannya tanpa melihat ke dalam tas. Kini
dia mengambil dompet. Sepertinya ipad merah itu akan segera terbeli. Dia
mengambil beberapa lembar uang merah dan meletakkan dompetnya di
etalase. Dekat dengannya. Ini kesempatan! Jauh lebih mudah mengambil
dompet yang tergeletak di etalase daripada yang berada di dalam tas. Aku
menggeser kembali tempat dudukku. Semula tanganku bersedekap di
etalase, hingga pelan-pelan jemariku merayap menuju dompet itu berada.
“Ehem.. ada yang bisa saya bantu Pak?” tiba-tiba sebuah suara
menggagalkan rencanaku. Aku mengetuk-ketukkan kuku jemariku di etalase
sambil berpura-pura melihat barang-barang di dalamnya. “Eh.. saya
mencari HP mas, tapi.. sepertinya belum ketemu yang cocok. Saya coba
lihat-lihat dulu ya,” jawabku asal.
Dia mengangguk dan pergi beralih kepada pembeli yang lain. Aku
bernapas lega. Mataku kembali tertuju pada dompet cokelat itu. Tinggal
beberapa senti saja jemariku sudah bisa meraihnya. Bulir-bulir keringat
dingin mulai mengalir membasahi wajahku. Tanganku sedikit bergetar.
Namun, aku harus bisa melakukan ini. Darahku berdesir, mendadak panas.
Sementara suhu tubuh di luar mendadak dingin. Suhu yang kontras ini
membuatku bimbang. Tuhan memang mengetahui aksiku kali ini, tapi ku
mohon satu kali ini Dia mengampuniku. Tap! Dompet itu berhasil ku raih.
Sret! Secepat kilat aku menarik dompet itu dan memasukkannya ke dalam
saku celanan. Napasku masih memburu.
“Wahh.. HPnya gak ada yang cocok. Saya ke kios lain saja, Mas,” ujarku basa-basi untuk menetralisir suasana.
Aku melangkah santai meninggalkan kios. Namun, di langkah ke sepuluh aku
harus berlari. Sudah ku perhitungkan beberapa detik nanti mungkin
wanita tersebut akan menyadari bahwa dompetnya hilang. Aku mempercepat
langkah sebelum wanita itu berteriak “copet” ke arahku. Namun, sebisa
mungkin aku harus menjaga agar tidak ada yang curiga kepadaku.
“Copet!!!”
Tepat dugaanku. Wanita itu menyadari dompetnya hilang dan langsung
berteriak “copet”. Aku tidak bisa jika hanya berjalan saja, aku harus
berlari, menjauh dari tempat ini. Aku menerobos beberapa kios yang
sedang ramai saat itu. Beberapa orang pemuda dan pegawai kios elektronik
tempat aku mencuri sepertinya tengah mengejarku. Mereka tengah
mencariku di balik kerumunan. Gawat, keramaian ini membuatku sulit
bergerak. Kalau pun menyamar, rasanya tidak mungkin. Hanya ada kerumunan
wanita yang sedang sibuk menawar pakaian. Aku mendorong mereka, tanpa
mengatakan permisi sedikit pun.
Aku benar-benar gugup melihat pemuda-pemuda yang tengah memburuku.
Mereka dengan wajah sangar seolah siap menerkamku. Dengan susah payah,
aku bisa melewati kerumunan wanita di kios pakaian. Namun, bukan solusi
yang menyambut, justru masalah. Jalan buntu. Tak ada tempat
persembunyian sama sekali. Di ruang terbuka. Wajahku memias. Keringat
bercucuran deras. Gigiku ngilu. Otak dan logika berpikir keras untuk
penyelamatan diri segera. Namun, emosiku mulai tak stabil. Kepanikan ini
membuat otak dan logikaku melambat. Tak mampu berpikir apa pun lagi.
Hanya ada wajah Surya saat ini. Semua ini demi Surya. Semua ini demi
melihatnya tumbuh menjadi pemuda yang pintar.
Brug!
Tinjuan keras menghantam pipi kananku dari samping. Aku tak
mengetahui jika secepat itu mereka menemukanku. Aku terkulai dengan
bibir berdarah. Ku lihat beberapa pemuda lainnya menyusul. Mereka
melingkariku. Dan aku sempurna terjebak dalam lingkaran hitam ini.
Tinjuan mendarat tepat di lambungku. Membunyikan suara debuman keras.
Entah sudah menjadi apa lambungku saat itu. Apakah hancur seketika atau
tidak.
Seorang pemuda lain turut menyumbangkan pukulan dari bawah rahangku.
Tubuhku terangkat beberapa senti karena pukulannya. Darah segar seketika
itu keluar dari mulutku. Grook! Grook! Aku terkulai. Penglihatanku
mulai buyar. Aku tak bisa melihat tegak lagi. Namun, mereka masih belum
puas menyiksaku. “Di mana dompetnya?!” tanya salah seorang pemuda
bertubuh kekar kepadaku. Untuk kesekian kalinya aku menolak mengaku. Dan
seperti dugaanku. Pukulan, tinjuan, tamparan, gebukan beruntun mulai
mendarat di tubuhku yang sudah hampir tumbang.
Pelipisku sakit sekali. Luka yang memancarkan darah bercampur dengan
keringat. Perih sekali. Lambungku rasanya seperti dicerabut dari tubuhku
lalu diremas-remas. Bibirku terasa mengelupas. Punggungku tak mampu
mengangkat tubuhku lagi. Namun, Surya, satu-satunya alasan aku bertahan
hidup selalu membayangi. Bagaimana jika aku mati sekarang? Bagaimana
dengan Surya? Siapa yang akan mengantar dan menjemputnya pulang sekolah?
Siapa yang akan merawatnya? Siapa yang akan membayar uang sekolahnya?
Mendadak sebuah tinjuan terakhir yang sempat ku rasakan mendarat tepat
di jantungku. Dan cahaya putih tiba-tiba menghampiriku.
—
“Nak, tahukah kamu. Ayah sangat menyayangimu. Ayah tidak ingin
melihatmu berduka karena uang. Mungkin Ayah bukanlah Ayah yang sempurna
bagimu. Ayah miskin. Ayah tidak bisa membahagiakanmu. Maafkan Ayah juga
telah mengambil jalan yang salah dengan mencuri. Jika Ayah tiada,
berjanjilah bahwa kau akan terus mengerjar cita-cita walau tanpa Ayah.
Kenapa namamu Surya? Karena Ayah ingin melihat matahari dia akhir senja
Ayah.”
“Namun, ku rasa Ayah hanya mampu merasakan matahari itu sampai di
sini. Di penghujung umur Ayah. Maafkan Ayah melakukan semua ini. Kamu
adalah anugerah terindah bagi Ayah. Tak pernah Ayah merasakan sakit
sesakit ketika kamu menangis. Ayah harus pergi,” ujarku dengan susah
payah sebelum cahaya putih itu benar-benar telah menjemputku.
“Ayaaaah.. maafkan Surya!!! Tak seharusnya Surya malu punya Ayah
seperti Ayah. Ayah yang selalu mengantar dan menjemput Surya. Sewaktu
Ayah datang ke sekolahku untuk mengambil raport, Surya terpaksa
berbohong. Mengatakan bahwa acara telah usai. Padahal sebenarnya belum.
Acara masih belum selesai. Namun, Surya malu melihat pakaian Ayah yang
lusuh bercampur keringat dan debu. Maafkan Surya, Yah. Kembalilah ke
dunia ini untuk Surya. Surya akan menjadi matahari terakhir untuk Ayah,
asal Ayah kembali ke dunia ini. Ayaaah!! bangun..” rintih Surya.
Tangisannya memecah kesunyian kamar rumah sakit tempat di mana aku
dirawat dan tempat terakhir aku tertidur lelap untuk selamanya.
“Surya.. sampai saat ini Ayah masih menganggap bahwa Ayah bukan Ayah
terbaik. Meninggalkanku sendiri di dunia ini. Maafkan Ayah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar