Senin, 04 Januari 2016

Matahari terakhir

Aku mengayuhnya dengan tergesa. Sudah berapa kali kayuhan ini membuat napasku mulai tersengal. Namun, aku tak bisa berhenti di pertengahan jalan seperti ini. Ada seseorang yang menunggu kehadiranku. Kehadiranku mungkin sangat berarti baginya. “Surya.. hah.. hah.. akhirnya Bapak sampai juga di sekolahmu,” ujarku masih dengan napas tersengal seusai memarkirkan sepeda di tempat parkir kendaraan.
Surya memandangku kesal. Mungkin aku sudah mengecewakannya dengan datang terlambat satu jam dari jadwal seharusnya. Bibirnya terkatup. Hanya alisnya yang terpautlah yang memberikanku jawaban tentangnya. Dia menyerahkan buku raportnya kepadaku. “Ayo kita pulang saja, Yah,” katanya kepadaku dengan memelas. Aku hanya bisa mengangguk dan menuruti permintaannya. Sebenarnya ini kesalahanku. Andai saja aku bisa mengerjakan tugas dari mandor lebih cepat pasti Surya tak akan kecewa.
Aku mengambil sepedaku dan menariknya ke luar dari barisan mobil-mobil dan motor-motor mewah milik wali murid lainnya. Rasanya napasku belum sempat tersambung seutuhnya, harus sudah mengayuh sepeda kembali. Tak apa, semua ini demi anak tunggalku, Surya. Aku sangat menyayanginya bahkan sebelum dia terlahir di dunia ini. Kehadirannya di tengah-tengah keluarga merupakan anugerah yang sangat kami dambakan. Walau pada akhirnya aku harus mengikhlaskan istriku untuk dipanggil ke hadapan-Nya. Karena itulah Surya adalah satu-satunya kenangan penghubungku dengan istriku.
Terkadang sedih melihatnya seorang diri di rumah kecil kami, menunggu hingga maghrib seusai kerja. Namun, beginilah kondisi kami. Aku tak berniat mencari pengganti istriku. Aku masih sangat mencintainya, dan aku belum bisa pastikan apakah orang lain bisa menyayangi Surya seperti aku menyayanginya. Maka aku putuskan merawat Surya seorang diri. Kayuhan kesekian ratus dengan jarak tempuh 3 km akhirnya dapat ku taklukkan. Aku menghela napas panjang. Meluruskan kaki yang sudah terasa mengeras. Dan menyusul Surya yang masuk ke dalam rumah lebih dulu.
“Bagaimana raportmu?” tanyaku basa-basi untuk mencairkan suasana.
“Seperti biasa. Tidak juga bagus tidak juga buruk, Yah.”
“Oh.. hmm.. bagus kok ini.. mungkin kamu hanya kurang belajar saja.”
“Iya mungkin. Yah, sebenarnya tadi Pak kepala sekolah memberiku surat peringatan. Ini..”
Dia memberiku sepucuk surat beramplop cokelat dengan logo sekolahnya. Sebuah surat yang mungkin membuatnya malu. Sebuah surat yang bahkan membuat dadaku semakin sesak. Uang SPP yang menunggak selama 3 bulan harus segera terbayarkan atau pendidikan Surya terhenti. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya jika harus berhenti sekolah. Aku tidak ingin nasibnya segelap nasibku. Dia harus terus bersekolah bagaimana pun caranya.
“Surya…” panggilku kepadanya seusai membaca surat tersebut. Mendadak aku segera memiliki ide untuk mengatasi persoalan ini. Mata kecil Surya terlihat sembab. Sepertinya dia sedang membayangkan jika dirinya suatu saat nanti akan berhenti sekolah. Namun, ayah janji tidak akan membiarkan bayang-bayang itu menjadi nyata. “Ayah pergi dulu ya,” aku berpamitan kepadanya untuk segera pergi. Mencari cara agar Surya tak berhenti bersekolah. Dia tak lantas menjawab, hanya mengangguk dengan masih terbalut rasa kecewa.

Aku sengaja berjalan kaki dari rumah ke sini. Menyusuri keramaian pasar malam. Mengamati setiap pergerakan orang-orang yang sibuk menawar barang atau sibuk bersenda gurau dengan teman-temannya. Satu per satu kios makanan tak luput dari sorotanku. Makanan dengan aroma menggugah selera itu mungkin bisa menarik banyak pembeli. Namun, bukan itu yang aku cari. Aku masih berjalan. Mengamati segala aktivitas yang tercipta di pasar malam tersebut. Dan aku berhenti di sebuah kios elektronik. Aku memasukinya berharap menemukan sesuatu yang sedang ku cari.
Mataku hanya bisa mengamati ratusan HP terpajang cantik di etalase. Puluhan laptop berjajar apik di atas etalase. Menyuguhkan pemandangan berkelas pada kios ini. Pegawainya berjalan ke sana ke mari melayani pembeli. Mengambilkan barang, menunjukkannya pada pembeli dan jika pembeli menolak, barang akan kembali ke etalase. Aku duduk di kursi yang masih kosong sembari mengamati ratusan HP dengan casing warna-warni dengan fitur yang canggih. Baru beberapa saat aku mengamatinya, seorang pembeli masuk ke dalam kios tersebut dan duduk di sebelahku. Seorang wanita dengan pakaian mewah tengah bermain gadget. Dia mengamati sejenak barisan HP yang terpajang di dalam kaca etalase.
Aku melongok, melihat ke dalam isi tas wanita tersebut. Sebuah HP keluaran terbaru, dompet, dan beberapa benda tidak penting. Mungkin cukup bagiku untuk mengambil dompetnya saja. Aku menggeser kursiku agar lebih dekat dengannya. Mataku tak pernah berhenti mengamati pergerakan pegawai kios ataupun pembeli yang lain. Bisa gawat jika aku tertangkap.
“Mbak.. ipad yang warna merah itu berapa harganya?” tanyanya seraya menunjuk ipad merah di sudut etalase.
Aku urung mengambil dompetnya. Menarik tanganku lekas-lekas tatkala dia hendak mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Syukur, dia hanya mengambil kaca. Dan sekarang dia sibuk berkaca. Pegawai kios yang tadi dipanggilnya segera menghampirinya dan mengeluarkan ipad warna merah tersebut. Mereka berdua membicarakan fitur, merek, harga, dan garansi. Masa bodoh dengan semua itu. Aku hanya butuh dompet cokelat nan tebal yang ada di tas cangklongnya.
Tanganku kembali terjulur setelah melihatnya tampak sibuk mencoba ipad merah tersebut. Aku harus berhati-hati. Pergerakan yang salah dapat membuatnya curiga dan sia-sialah semua ini. Keringatku mulai mengucur. Mataku tak pernah berhenti mendelik melihat setiap orang yang ada di kios itu. Cemas apabila ada satu orang saja yang mengetahui aksiku. Kurang beberapa senti saja dompet itu dari jemariku. Namun, sepertinya ada suatu barang yang menghalangiku.
“Ah, bentar ya Mbak..” ucap wanita tadi. Refleks, aku langsung menarik kembali tanganku dari tasnya.
Keringatku sudah membasahi tengkuk dan bajuku. Jantungku sempat hampir copot ketika tiba-tiba dia memasukkan tangannya juga ke dalam tas. Syukur, dia memasukkan tangannya tanpa melihat ke dalam tas. Kini dia mengambil dompet. Sepertinya ipad merah itu akan segera terbeli. Dia mengambil beberapa lembar uang merah dan meletakkan dompetnya di etalase. Dekat dengannya. Ini kesempatan! Jauh lebih mudah mengambil dompet yang tergeletak di etalase daripada yang berada di dalam tas. Aku menggeser kembali tempat dudukku. Semula tanganku bersedekap di etalase, hingga pelan-pelan jemariku merayap menuju dompet itu berada.
“Ehem.. ada yang bisa saya bantu Pak?” tiba-tiba sebuah suara menggagalkan rencanaku. Aku mengetuk-ketukkan kuku jemariku di etalase sambil berpura-pura melihat barang-barang di dalamnya. “Eh.. saya mencari HP mas, tapi.. sepertinya belum ketemu yang cocok. Saya coba lihat-lihat dulu ya,” jawabku asal.
Dia mengangguk dan pergi beralih kepada pembeli yang lain. Aku bernapas lega. Mataku kembali tertuju pada dompet cokelat itu. Tinggal beberapa senti saja jemariku sudah bisa meraihnya. Bulir-bulir keringat dingin mulai mengalir membasahi wajahku. Tanganku sedikit bergetar. Namun, aku harus bisa melakukan ini. Darahku berdesir, mendadak panas. Sementara suhu tubuh di luar mendadak dingin. Suhu yang kontras ini membuatku bimbang. Tuhan memang mengetahui aksiku kali ini, tapi ku mohon satu kali ini Dia mengampuniku. Tap! Dompet itu berhasil ku raih. Sret! Secepat kilat aku menarik dompet itu dan memasukkannya ke dalam saku celanan. Napasku masih memburu.
“Wahh.. HPnya gak ada yang cocok. Saya ke kios lain saja, Mas,” ujarku basa-basi untuk menetralisir suasana.
Aku melangkah santai meninggalkan kios. Namun, di langkah ke sepuluh aku harus berlari. Sudah ku perhitungkan beberapa detik nanti mungkin wanita tersebut akan menyadari bahwa dompetnya hilang. Aku mempercepat langkah sebelum wanita itu berteriak “copet” ke arahku. Namun, sebisa mungkin aku harus menjaga agar tidak ada yang curiga kepadaku.
“Copet!!!”
Tepat dugaanku. Wanita itu menyadari dompetnya hilang dan langsung berteriak “copet”. Aku tidak bisa jika hanya berjalan saja, aku harus berlari, menjauh dari tempat ini. Aku menerobos beberapa kios yang sedang ramai saat itu. Beberapa orang pemuda dan pegawai kios elektronik tempat aku mencuri sepertinya tengah mengejarku. Mereka tengah mencariku di balik kerumunan. Gawat, keramaian ini membuatku sulit bergerak. Kalau pun menyamar, rasanya tidak mungkin. Hanya ada kerumunan wanita yang sedang sibuk menawar pakaian. Aku mendorong mereka, tanpa mengatakan permisi sedikit pun.
Aku benar-benar gugup melihat pemuda-pemuda yang tengah memburuku. Mereka dengan wajah sangar seolah siap menerkamku. Dengan susah payah, aku bisa melewati kerumunan wanita di kios pakaian. Namun, bukan solusi yang menyambut, justru masalah. Jalan buntu. Tak ada tempat persembunyian sama sekali. Di ruang terbuka. Wajahku memias. Keringat bercucuran deras. Gigiku ngilu. Otak dan logika berpikir keras untuk penyelamatan diri segera. Namun, emosiku mulai tak stabil. Kepanikan ini membuat otak dan logikaku melambat. Tak mampu berpikir apa pun lagi. Hanya ada wajah Surya saat ini. Semua ini demi Surya. Semua ini demi melihatnya tumbuh menjadi pemuda yang pintar.
Brug!
Tinjuan keras menghantam pipi kananku dari samping. Aku tak mengetahui jika secepat itu mereka menemukanku. Aku terkulai dengan bibir berdarah. Ku lihat beberapa pemuda lainnya menyusul. Mereka melingkariku. Dan aku sempurna terjebak dalam lingkaran hitam ini. Tinjuan mendarat tepat di lambungku. Membunyikan suara debuman keras. Entah sudah menjadi apa lambungku saat itu. Apakah hancur seketika atau tidak.
Seorang pemuda lain turut menyumbangkan pukulan dari bawah rahangku. Tubuhku terangkat beberapa senti karena pukulannya. Darah segar seketika itu keluar dari mulutku. Grook! Grook! Aku terkulai. Penglihatanku mulai buyar. Aku tak bisa melihat tegak lagi. Namun, mereka masih belum puas menyiksaku. “Di mana dompetnya?!” tanya salah seorang pemuda bertubuh kekar kepadaku. Untuk kesekian kalinya aku menolak mengaku. Dan seperti dugaanku. Pukulan, tinjuan, tamparan, gebukan beruntun mulai mendarat di tubuhku yang sudah hampir tumbang.
Pelipisku sakit sekali. Luka yang memancarkan darah bercampur dengan keringat. Perih sekali. Lambungku rasanya seperti dicerabut dari tubuhku lalu diremas-remas. Bibirku terasa mengelupas. Punggungku tak mampu mengangkat tubuhku lagi. Namun, Surya, satu-satunya alasan aku bertahan hidup selalu membayangi. Bagaimana jika aku mati sekarang? Bagaimana dengan Surya? Siapa yang akan mengantar dan menjemputnya pulang sekolah? Siapa yang akan merawatnya? Siapa yang akan membayar uang sekolahnya? Mendadak sebuah tinjuan terakhir yang sempat ku rasakan mendarat tepat di jantungku. Dan cahaya putih tiba-tiba menghampiriku.

“Nak, tahukah kamu. Ayah sangat menyayangimu. Ayah tidak ingin melihatmu berduka karena uang. Mungkin Ayah bukanlah Ayah yang sempurna bagimu. Ayah miskin. Ayah tidak bisa membahagiakanmu. Maafkan Ayah juga telah mengambil jalan yang salah dengan mencuri. Jika Ayah tiada, berjanjilah bahwa kau akan terus mengerjar cita-cita walau tanpa Ayah. Kenapa namamu Surya? Karena Ayah ingin melihat matahari dia akhir senja Ayah.”
“Namun, ku rasa Ayah hanya mampu merasakan matahari itu sampai di sini. Di penghujung umur Ayah. Maafkan Ayah melakukan semua ini. Kamu adalah anugerah terindah bagi Ayah. Tak pernah Ayah merasakan sakit sesakit ketika kamu menangis. Ayah harus pergi,” ujarku dengan susah payah sebelum cahaya putih itu benar-benar telah menjemputku.
“Ayaaaah.. maafkan Surya!!! Tak seharusnya Surya malu punya Ayah seperti Ayah. Ayah yang selalu mengantar dan menjemput Surya. Sewaktu Ayah datang ke sekolahku untuk mengambil raport, Surya terpaksa berbohong. Mengatakan bahwa acara telah usai. Padahal sebenarnya belum. Acara masih belum selesai. Namun, Surya malu melihat pakaian Ayah yang lusuh bercampur keringat dan debu. Maafkan Surya, Yah. Kembalilah ke dunia ini untuk Surya. Surya akan menjadi matahari terakhir untuk Ayah, asal Ayah kembali ke dunia ini. Ayaaah!! bangun..” rintih Surya. Tangisannya memecah kesunyian kamar rumah sakit tempat di mana aku dirawat dan tempat terakhir aku tertidur lelap untuk selamanya.
“Surya.. sampai saat ini Ayah masih menganggap bahwa Ayah bukan Ayah terbaik. Meninggalkanku sendiri di dunia ini. Maafkan Ayah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar