Aku mengayuhnya dengan tergesa. Sudah berapa kali kayuhan ini membuat
napasku mulai tersengal. Namun, aku tak bisa berhenti di pertengahan
jalan seperti ini. Ada seseorang yang menunggu kehadiranku. Kehadiranku
mungkin sangat berarti baginya. “Surya.. hah.. hah.. akhirnya Bapak
sampai juga di sekolahmu,” ujarku masih dengan napas tersengal seusai
memarkirkan sepeda di tempat parkir kendaraan.
Surya memandangku kesal. Mungkin aku sudah mengecewakannya dengan
datang terlambat satu jam dari jadwal seharusnya. Bibirnya terkatup.
Hanya alisnya yang terpautlah yang memberikanku jawaban tentangnya. Dia
menyerahkan buku raportnya kepadaku. “Ayo kita pulang saja, Yah,”
katanya kepadaku dengan memelas. Aku hanya bisa mengangguk dan menuruti
permintaannya. Sebenarnya ini kesalahanku. Andai saja aku bisa
mengerjakan tugas dari mandor lebih cepat pasti Surya tak akan kecewa.
Aku mengambil sepedaku dan menariknya ke luar dari barisan
mobil-mobil dan motor-motor mewah milik wali murid lainnya. Rasanya
napasku belum sempat tersambung seutuhnya, harus sudah mengayuh sepeda
kembali. Tak apa, semua ini demi anak tunggalku, Surya. Aku sangat
menyayanginya bahkan sebelum dia terlahir di dunia ini. Kehadirannya di
tengah-tengah keluarga merupakan anugerah yang sangat kami dambakan.
Walau pada akhirnya aku harus mengikhlaskan istriku untuk dipanggil ke
hadapan-Nya. Karena itulah Surya adalah satu-satunya kenangan
penghubungku dengan istriku.
Terkadang sedih melihatnya seorang diri di rumah kecil kami, menunggu
hingga maghrib seusai kerja. Namun, beginilah kondisi kami. Aku tak
berniat mencari pengganti istriku. Aku masih sangat mencintainya, dan
aku belum bisa pastikan apakah orang lain bisa menyayangi Surya seperti
aku menyayanginya. Maka aku putuskan merawat Surya seorang diri. Kayuhan
kesekian ratus dengan jarak tempuh 3 km akhirnya dapat ku taklukkan.
Aku menghela napas panjang. Meluruskan kaki yang sudah terasa mengeras.
Dan menyusul Surya yang masuk ke dalam rumah lebih dulu.
“Bagaimana raportmu?” tanyaku basa-basi untuk mencairkan suasana.
“Seperti biasa. Tidak juga bagus tidak juga buruk, Yah.”
“Oh.. hmm.. bagus kok ini.. mungkin kamu hanya kurang belajar saja.”
“Iya mungkin. Yah, sebenarnya tadi Pak kepala sekolah memberiku surat peringatan. Ini..”
Dia memberiku sepucuk surat beramplop cokelat dengan logo sekolahnya.
Sebuah surat yang mungkin membuatnya malu. Sebuah surat yang bahkan
membuat dadaku semakin sesak. Uang SPP yang menunggak selama 3 bulan
harus segera terbayarkan atau pendidikan Surya terhenti. Aku tidak bisa
membayangkan bagaimana perasaannya jika harus berhenti sekolah. Aku
tidak ingin nasibnya segelap nasibku. Dia harus terus bersekolah
bagaimana pun caranya.
“Surya…” panggilku kepadanya seusai membaca surat tersebut. Mendadak
aku segera memiliki ide untuk mengatasi persoalan ini. Mata kecil Surya
terlihat sembab. Sepertinya dia sedang membayangkan jika dirinya suatu
saat nanti akan berhenti sekolah. Namun, ayah janji tidak akan
membiarkan bayang-bayang itu menjadi nyata. “Ayah pergi dulu ya,” aku
berpamitan kepadanya untuk segera pergi. Mencari cara agar Surya tak
berhenti bersekolah. Dia tak lantas menjawab, hanya mengangguk dengan
masih terbalut rasa kecewa.
—
Aku sengaja berjalan kaki dari rumah ke sini. Menyusuri keramaian
pasar malam. Mengamati setiap pergerakan orang-orang yang sibuk menawar
barang atau sibuk bersenda gurau dengan teman-temannya. Satu per satu
kios makanan tak luput dari sorotanku. Makanan dengan aroma menggugah
selera itu mungkin bisa menarik banyak pembeli. Namun, bukan itu yang
aku cari. Aku masih berjalan. Mengamati segala aktivitas yang tercipta
di pasar malam tersebut. Dan aku berhenti di sebuah kios elektronik. Aku
memasukinya berharap menemukan sesuatu yang sedang ku cari.
Mataku hanya bisa mengamati ratusan HP terpajang cantik di etalase.
Puluhan laptop berjajar apik di atas etalase. Menyuguhkan pemandangan
berkelas pada kios ini. Pegawainya berjalan ke sana ke mari melayani
pembeli. Mengambilkan barang, menunjukkannya pada pembeli dan jika
pembeli menolak, barang akan kembali ke etalase. Aku duduk di kursi yang
masih kosong sembari mengamati ratusan HP dengan casing warna-warni
dengan fitur yang canggih. Baru beberapa saat aku mengamatinya, seorang
pembeli masuk ke dalam kios tersebut dan duduk di sebelahku. Seorang
wanita dengan pakaian mewah tengah bermain gadget. Dia mengamati sejenak
barisan HP yang terpajang di dalam kaca etalase.
Aku melongok, melihat ke dalam isi tas wanita tersebut. Sebuah HP
keluaran terbaru, dompet, dan beberapa benda tidak penting. Mungkin
cukup bagiku untuk mengambil dompetnya saja. Aku menggeser kursiku agar
lebih dekat dengannya. Mataku tak pernah berhenti mengamati pergerakan
pegawai kios ataupun pembeli yang lain. Bisa gawat jika aku tertangkap.
“Mbak.. ipad yang warna merah itu berapa harganya?” tanyanya seraya menunjuk ipad merah di sudut etalase.
Aku urung mengambil dompetnya. Menarik tanganku lekas-lekas tatkala
dia hendak mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Syukur, dia hanya
mengambil kaca. Dan sekarang dia sibuk berkaca. Pegawai kios yang tadi
dipanggilnya segera menghampirinya dan mengeluarkan ipad warna merah
tersebut. Mereka berdua membicarakan fitur, merek, harga, dan garansi.
Masa bodoh dengan semua itu. Aku hanya butuh dompet cokelat nan tebal
yang ada di tas cangklongnya.
Tanganku kembali terjulur setelah melihatnya tampak sibuk mencoba
ipad merah tersebut. Aku harus berhati-hati. Pergerakan yang salah dapat
membuatnya curiga dan sia-sialah semua ini. Keringatku mulai mengucur.
Mataku tak pernah berhenti mendelik melihat setiap orang yang ada di
kios itu. Cemas apabila ada satu orang saja yang mengetahui aksiku.
Kurang beberapa senti saja dompet itu dari jemariku. Namun, sepertinya
ada suatu barang yang menghalangiku.
“Ah, bentar ya Mbak..” ucap wanita tadi. Refleks, aku langsung menarik kembali tanganku dari tasnya.
Keringatku sudah membasahi tengkuk dan bajuku. Jantungku sempat
hampir copot ketika tiba-tiba dia memasukkan tangannya juga ke dalam
tas. Syukur, dia memasukkan tangannya tanpa melihat ke dalam tas. Kini
dia mengambil dompet. Sepertinya ipad merah itu akan segera terbeli. Dia
mengambil beberapa lembar uang merah dan meletakkan dompetnya di
etalase. Dekat dengannya. Ini kesempatan! Jauh lebih mudah mengambil
dompet yang tergeletak di etalase daripada yang berada di dalam tas. Aku
menggeser kembali tempat dudukku. Semula tanganku bersedekap di
etalase, hingga pelan-pelan jemariku merayap menuju dompet itu berada.
“Ehem.. ada yang bisa saya bantu Pak?” tiba-tiba sebuah suara
menggagalkan rencanaku. Aku mengetuk-ketukkan kuku jemariku di etalase
sambil berpura-pura melihat barang-barang di dalamnya. “Eh.. saya
mencari HP mas, tapi.. sepertinya belum ketemu yang cocok. Saya coba
lihat-lihat dulu ya,” jawabku asal.
Dia mengangguk dan pergi beralih kepada pembeli yang lain. Aku
bernapas lega. Mataku kembali tertuju pada dompet cokelat itu. Tinggal
beberapa senti saja jemariku sudah bisa meraihnya. Bulir-bulir keringat
dingin mulai mengalir membasahi wajahku. Tanganku sedikit bergetar.
Namun, aku harus bisa melakukan ini. Darahku berdesir, mendadak panas.
Sementara suhu tubuh di luar mendadak dingin. Suhu yang kontras ini
membuatku bimbang. Tuhan memang mengetahui aksiku kali ini, tapi ku
mohon satu kali ini Dia mengampuniku. Tap! Dompet itu berhasil ku raih.
Sret! Secepat kilat aku menarik dompet itu dan memasukkannya ke dalam
saku celanan. Napasku masih memburu.
“Wahh.. HPnya gak ada yang cocok. Saya ke kios lain saja, Mas,” ujarku basa-basi untuk menetralisir suasana.
Aku melangkah santai meninggalkan kios. Namun, di langkah ke sepuluh aku
harus berlari. Sudah ku perhitungkan beberapa detik nanti mungkin
wanita tersebut akan menyadari bahwa dompetnya hilang. Aku mempercepat
langkah sebelum wanita itu berteriak “copet” ke arahku. Namun, sebisa
mungkin aku harus menjaga agar tidak ada yang curiga kepadaku.
“Copet!!!”
Tepat dugaanku. Wanita itu menyadari dompetnya hilang dan langsung
berteriak “copet”. Aku tidak bisa jika hanya berjalan saja, aku harus
berlari, menjauh dari tempat ini. Aku menerobos beberapa kios yang
sedang ramai saat itu. Beberapa orang pemuda dan pegawai kios elektronik
tempat aku mencuri sepertinya tengah mengejarku. Mereka tengah
mencariku di balik kerumunan. Gawat, keramaian ini membuatku sulit
bergerak. Kalau pun menyamar, rasanya tidak mungkin. Hanya ada kerumunan
wanita yang sedang sibuk menawar pakaian. Aku mendorong mereka, tanpa
mengatakan permisi sedikit pun.
Aku benar-benar gugup melihat pemuda-pemuda yang tengah memburuku.
Mereka dengan wajah sangar seolah siap menerkamku. Dengan susah payah,
aku bisa melewati kerumunan wanita di kios pakaian. Namun, bukan solusi
yang menyambut, justru masalah. Jalan buntu. Tak ada tempat
persembunyian sama sekali. Di ruang terbuka. Wajahku memias. Keringat
bercucuran deras. Gigiku ngilu. Otak dan logika berpikir keras untuk
penyelamatan diri segera. Namun, emosiku mulai tak stabil. Kepanikan ini
membuat otak dan logikaku melambat. Tak mampu berpikir apa pun lagi.
Hanya ada wajah Surya saat ini. Semua ini demi Surya. Semua ini demi
melihatnya tumbuh menjadi pemuda yang pintar.
Brug!
Tinjuan keras menghantam pipi kananku dari samping. Aku tak
mengetahui jika secepat itu mereka menemukanku. Aku terkulai dengan
bibir berdarah. Ku lihat beberapa pemuda lainnya menyusul. Mereka
melingkariku. Dan aku sempurna terjebak dalam lingkaran hitam ini.
Tinjuan mendarat tepat di lambungku. Membunyikan suara debuman keras.
Entah sudah menjadi apa lambungku saat itu. Apakah hancur seketika atau
tidak.
Seorang pemuda lain turut menyumbangkan pukulan dari bawah rahangku.
Tubuhku terangkat beberapa senti karena pukulannya. Darah segar seketika
itu keluar dari mulutku. Grook! Grook! Aku terkulai. Penglihatanku
mulai buyar. Aku tak bisa melihat tegak lagi. Namun, mereka masih belum
puas menyiksaku. “Di mana dompetnya?!” tanya salah seorang pemuda
bertubuh kekar kepadaku. Untuk kesekian kalinya aku menolak mengaku. Dan
seperti dugaanku. Pukulan, tinjuan, tamparan, gebukan beruntun mulai
mendarat di tubuhku yang sudah hampir tumbang.
Pelipisku sakit sekali. Luka yang memancarkan darah bercampur dengan
keringat. Perih sekali. Lambungku rasanya seperti dicerabut dari tubuhku
lalu diremas-remas. Bibirku terasa mengelupas. Punggungku tak mampu
mengangkat tubuhku lagi. Namun, Surya, satu-satunya alasan aku bertahan
hidup selalu membayangi. Bagaimana jika aku mati sekarang? Bagaimana
dengan Surya? Siapa yang akan mengantar dan menjemputnya pulang sekolah?
Siapa yang akan merawatnya? Siapa yang akan membayar uang sekolahnya?
Mendadak sebuah tinjuan terakhir yang sempat ku rasakan mendarat tepat
di jantungku. Dan cahaya putih tiba-tiba menghampiriku.
—
“Nak, tahukah kamu. Ayah sangat menyayangimu. Ayah tidak ingin
melihatmu berduka karena uang. Mungkin Ayah bukanlah Ayah yang sempurna
bagimu. Ayah miskin. Ayah tidak bisa membahagiakanmu. Maafkan Ayah juga
telah mengambil jalan yang salah dengan mencuri. Jika Ayah tiada,
berjanjilah bahwa kau akan terus mengerjar cita-cita walau tanpa Ayah.
Kenapa namamu Surya? Karena Ayah ingin melihat matahari dia akhir senja
Ayah.”
“Namun, ku rasa Ayah hanya mampu merasakan matahari itu sampai di
sini. Di penghujung umur Ayah. Maafkan Ayah melakukan semua ini. Kamu
adalah anugerah terindah bagi Ayah. Tak pernah Ayah merasakan sakit
sesakit ketika kamu menangis. Ayah harus pergi,” ujarku dengan susah
payah sebelum cahaya putih itu benar-benar telah menjemputku.
“Ayaaaah.. maafkan Surya!!! Tak seharusnya Surya malu punya Ayah
seperti Ayah. Ayah yang selalu mengantar dan menjemput Surya. Sewaktu
Ayah datang ke sekolahku untuk mengambil raport, Surya terpaksa
berbohong. Mengatakan bahwa acara telah usai. Padahal sebenarnya belum.
Acara masih belum selesai. Namun, Surya malu melihat pakaian Ayah yang
lusuh bercampur keringat dan debu. Maafkan Surya, Yah. Kembalilah ke
dunia ini untuk Surya. Surya akan menjadi matahari terakhir untuk Ayah,
asal Ayah kembali ke dunia ini. Ayaaah!! bangun..” rintih Surya.
Tangisannya memecah kesunyian kamar rumah sakit tempat di mana aku
dirawat dan tempat terakhir aku tertidur lelap untuk selamanya.
“Surya.. sampai saat ini Ayah masih menganggap bahwa Ayah bukan Ayah
terbaik. Meninggalkanku sendiri di dunia ini. Maafkan Ayah.”
Senin, 04 Januari 2016
hikayat sang pohon cantik
Nun,di sebuah hutan belantara
tumbuhlah sebatang pohon yang memiliki keunikan tersendiri dibandingkan
dengan jutaan pohon yang lainnya. Ia memiliki batang yang sangat lurus
dan tegak, akarnya yang kukuh, serta aroma khasnya yang harum, semerbak,
memenuhi seluruh isi hutan. Sehingga tidaklah menjadi hairan, ramai
sekali para pencari kayu bakar yang merasa tertarik kepada pohon itu.
Bahkan ramai yang berniat baik untuk turut memelihara keindahan pohon
itu. Dengan senang hati mereka membiarkan pohon tersebut tetap tumbuh.
Beruntung, pohon cantik tersebut mendapat penjagaan yang sangat rapi dari para pencari kayu bakar yang baik hati. Mereka secara bergiliran mengiring berjalan dengan sangat waspada agar pertumbuhan Sang Pohon terjaga . Selain itu, pohon tersebut rupanya memiliki akar yang dapat menumbuh dengan cepat. Sehingga sari-sari makanan yang ada dalam tanah dapat diserap dengan baik. Demikian juga dengan air yang ada, dapat digunakan oleh Sang Pohon untuk menampung kehidupannya.
Dipendekkan cerita,pohon tersebut telah tumbuh besar, daunnya yang rimbun menghijau membuat mata tak lelah untuk memandang, dari dahan-dahannya lahir wangian semerbak harum yang menyeliputi seluruh hutan, dan satu lagi, pohon cantik tersebut memiliki buah yang sangat manis. Selain dapat menghilangkan dahaga, juga dapat mengenyangkan para penikmatnya. Terasalah berkah Sang Pencipta bagi para pencari kayu bakar, meskipun para penebang pohon yang liar masih saja mencari helah untuk selalu menghapuskan pohon itu.
Namun, demikianlah kudrat keberadaan setiap makhluk yang hidup dan tumbuh di atas muka bumi ini, tak satupun yang abadi! Tak terkecuali dengan keadaan pohon cantik yang disanjung para pencari kayu bakar dan seluruh penghuni hutan. Pada suatu petang, ketika langit mulai gelap, angin pun kencang berhembus. Pucuk pohon cantik bergoyang dengan hebatnya. Ia sekuat tenaga mengimbangi keadaan yang mana pada bila-bila masa boleh menumbangkannya. Sang Pucuk terus bergerak, awalnya hanya berniat untuk mempertahankan diri dari keadaan alam yang ia hadapi.
Tetapi lama-kelamaan ia sedar, bahwa sebenarnya ia dapat mengatasi sepenuhnya serangan angin tersebut. Ia yakin benar telah ditampung oleh akar yang kuat, dan dahan-dahan yang kukuh, serta dedaunan yang dapat menahan laju dan kencangnya angin dengan sempurna. Kerana keyakinannya itulah tiba-tiba ia membuat sebuah gerakan yang tidak disangka-sangka oleh Sang Akar, yang sekuat tenaga mencengkam tanah.
Sang Pucuk menari, bukan hanya mengikut arah angin, namun terkadang ia membuat gerakan yang membingungkan Sang Akar dalam mempertahankan keseimbangannya. Dan, Sang Akar pun mengeluarkan bantahannya; “Hai, pucuk. Berhentilah menari! Aku bingung melihatmu!” “Kenapa mesti bingung, Akar? Aku tahu benar situasi yang ada. Ikut sajalah!” “Bagaimana aku hendak mengikuti tarianmu, kalau kamu susah diikuti” “Percayalah, akar. Aku diatas mampu melihat semuanya. Bukan hanya batang, daun, dan kau akarku sendiri. Tetapi jarak puluhan batu di sekeliling kita pun dapat aku lihat dengan jelas” “Hai, apa salahnya aku mengingatkanmu, pucuk?” “Kau salah akar, harusnya kau ikut saja apa kataku. Kerana posisimu di bawah, dan kau tidak tahu apa-apa tentang dunia ini!”
“Aduhai…angkuh nian kau, pucuk! Kalaulah tak ada aku, mana mungkin kau dapat berdiri dan berada di atas sana!” “Sudahlah, kenapa kalian malah bertengkar, hah?!” Sang Daun menegahi suasana yang semakin panas. “Kerana dia mulai merasa angkuh, daun!” akar mengarahkan serabut akarnya kepada Sang Pucuk. “Apa urusanmu, akar?! Ikuti sajalah kataku, dan kau akan selamat” “Apakah kalian lupa, hah? Kalian itu saling memerlukan! Tidak akan ada kehidupan kalau tidak aku, kau, dan si akar itu. Sedarlah, saudaraku! kawanku!” Sang Daun kembali berkata-kata dengan perasaan yang sedih kerana pertelingkahan saudaranya sendiri.
Perdebatan demi perdebatan terus bergulir di antara keduanya. Sang Pucuk tidak merasa harus mengalah sedikit pun terhadap Sang Akar. Ia merasa bahawa ialah segalanya, dialah ketua kerana berada di tempat yang paling atas. Ia merasa ditakdirkan Tuhan untuk berada di atas dengan segala penglihatannya yang luas akan dunia ini. Ia merasa Tuhan telah memberikan kekuasaan mutlak kepadanya untuk berbuat sesuka hati. Sementara, Sang Akar merasa kecewa, Sang Pucuk telah mengambil langkah yang keliru dalam melaksanakan upaya menjaga kelangsungan hidup seluruh bagian pohon tersebut. Dan, Sang Daun yang berusaha meleraikan perdebatan itu pun tak berdaya menenangkan keduanya, meski ia tak pernah merasa lelah untuk mendamaikan perseteruan dua saudara satu tubuh itu.
Waktu yang digariskan mungkin saja telah tiba, kerana perdebatan yang berlarutan itu, Sang Akar bermalas-malasan untuk menyerap air dan zat-zat yang dibutuhkannya. Demikian juga Sang Daun, kerana kelelahan melerai perdebatan kedua saudaranya, ia lupa untuk mengolah makanan meskipun matahari terus bersinar sepanjang hari. Dan, Sang Pucuk rupanya semakin terlena. Ia tidak menyadari dua saudara dibawahnya sudah mengalami gangguan. Ia tetap berlenggok mengikuti arah angin dengan irama yang menghiburkan hatinya. Hingga tibalah saat di mana angin justeru berhembus dengan sangat perlahan.
Sang Pucuk terlena kerana desirnya, ia merasa ngantuk dan ia biarkan gerakannya yang tidak beraturan, dan ia pun mulai terpejam. Terlelap dalam tidur yang tidak disedarinya, dan angin datang menyerang. Tubuhnya terkulai. Sang Daun yang lapar tidak berdaya menahan tubuh Sang Pucuk yang datang tiba-tiba. Ia ikut terjatuh. Sementara di bawah, Sang Akar yang bermalas-malasan tidak lagi memiliki cengkaman yang kuat terhadap tanah di sekelilingnya. Sang Akar tidak berkuasa menahan tubuh kedua saudaranya yang terjatuh lebih dulu. Ia tercabut, bercerai-berai.
Beginilah akhirnya kisah pohon cantik,sebuah cerita yang menyedihkan.Para pencari kayu bakar yang baik hati bermuram durja, sementara para penebang liar bergelak tawa, “Tak perlu kita robohkan, kawan. Mereka roboh sendiri kerana permusuhan…!! ” “O, bahkan tak perlu angin yang kencang rupanya…….kasihan betul…..” demikianlah kata penebang pohon yang liar.
Dari sini saudara-saudaraku dapatkah kita mengambil sedikit iktibar dari cerita ini?
Marilah kita jauhi permusuhan yang meleraikan silaturrahim antara kita,
janganlah berdendam kerana dendam itu tidak membawa kedamaian..
saling hormat menghormati dan bersatu padulah kita agar syiar Islam dapat diteruskan dan digemilangkan.. dan agar kita tetap menjadi orang yang beriman..
InsyaAllah
Sering kali mereka menyempatkan diri
untuk menyiraminya dengan air yang diperoleh dari lubuk bening di
pinggir hutan. Semua itu mereka lakukan dengan penuh harap agar suatu
saat kelak, di alam yang mulai penuh dengan kerosakkan ini, Sang Pohon
Cantik akan tumbuh dengan sejuta pesona. Memberikan warna perubahan bagi
siapa saja, untuk lebih mencintai lingkungan mereka dan berhenti
membuat kerosakan.
Sementara bagi para penebang pohon yang liar, keberadaan pohon cantik
itu sangatlah mengganggu. Mereka sedar, apabila pohon tersebut tumbuh
dengan baik, maka akan banyak perhatian yang akan tertuju kepada hutan
itu. Perhatian yang tentu saja membuat langkah mereka semakin sulit
dalam membuat kerosakan di dalam hutan itu. Para penebang pohon yang
liar itu berikrar, mereka akan memindahkan pohon cantik itu ke halaman
rumah-rumah mereka. Tetapi kalau tujuan itu tidak tercapai, maka
mematikan pohon itu adalah cara terbaik yang harus mereka tempuh.Beruntung, pohon cantik tersebut mendapat penjagaan yang sangat rapi dari para pencari kayu bakar yang baik hati. Mereka secara bergiliran mengiring berjalan dengan sangat waspada agar pertumbuhan Sang Pohon terjaga . Selain itu, pohon tersebut rupanya memiliki akar yang dapat menumbuh dengan cepat. Sehingga sari-sari makanan yang ada dalam tanah dapat diserap dengan baik. Demikian juga dengan air yang ada, dapat digunakan oleh Sang Pohon untuk menampung kehidupannya.
Dipendekkan cerita,pohon tersebut telah tumbuh besar, daunnya yang rimbun menghijau membuat mata tak lelah untuk memandang, dari dahan-dahannya lahir wangian semerbak harum yang menyeliputi seluruh hutan, dan satu lagi, pohon cantik tersebut memiliki buah yang sangat manis. Selain dapat menghilangkan dahaga, juga dapat mengenyangkan para penikmatnya. Terasalah berkah Sang Pencipta bagi para pencari kayu bakar, meskipun para penebang pohon yang liar masih saja mencari helah untuk selalu menghapuskan pohon itu.
Namun, demikianlah kudrat keberadaan setiap makhluk yang hidup dan tumbuh di atas muka bumi ini, tak satupun yang abadi! Tak terkecuali dengan keadaan pohon cantik yang disanjung para pencari kayu bakar dan seluruh penghuni hutan. Pada suatu petang, ketika langit mulai gelap, angin pun kencang berhembus. Pucuk pohon cantik bergoyang dengan hebatnya. Ia sekuat tenaga mengimbangi keadaan yang mana pada bila-bila masa boleh menumbangkannya. Sang Pucuk terus bergerak, awalnya hanya berniat untuk mempertahankan diri dari keadaan alam yang ia hadapi.
Tetapi lama-kelamaan ia sedar, bahwa sebenarnya ia dapat mengatasi sepenuhnya serangan angin tersebut. Ia yakin benar telah ditampung oleh akar yang kuat, dan dahan-dahan yang kukuh, serta dedaunan yang dapat menahan laju dan kencangnya angin dengan sempurna. Kerana keyakinannya itulah tiba-tiba ia membuat sebuah gerakan yang tidak disangka-sangka oleh Sang Akar, yang sekuat tenaga mencengkam tanah.
Sang Pucuk menari, bukan hanya mengikut arah angin, namun terkadang ia membuat gerakan yang membingungkan Sang Akar dalam mempertahankan keseimbangannya. Dan, Sang Akar pun mengeluarkan bantahannya; “Hai, pucuk. Berhentilah menari! Aku bingung melihatmu!” “Kenapa mesti bingung, Akar? Aku tahu benar situasi yang ada. Ikut sajalah!” “Bagaimana aku hendak mengikuti tarianmu, kalau kamu susah diikuti” “Percayalah, akar. Aku diatas mampu melihat semuanya. Bukan hanya batang, daun, dan kau akarku sendiri. Tetapi jarak puluhan batu di sekeliling kita pun dapat aku lihat dengan jelas” “Hai, apa salahnya aku mengingatkanmu, pucuk?” “Kau salah akar, harusnya kau ikut saja apa kataku. Kerana posisimu di bawah, dan kau tidak tahu apa-apa tentang dunia ini!”
“Aduhai…angkuh nian kau, pucuk! Kalaulah tak ada aku, mana mungkin kau dapat berdiri dan berada di atas sana!” “Sudahlah, kenapa kalian malah bertengkar, hah?!” Sang Daun menegahi suasana yang semakin panas. “Kerana dia mulai merasa angkuh, daun!” akar mengarahkan serabut akarnya kepada Sang Pucuk. “Apa urusanmu, akar?! Ikuti sajalah kataku, dan kau akan selamat” “Apakah kalian lupa, hah? Kalian itu saling memerlukan! Tidak akan ada kehidupan kalau tidak aku, kau, dan si akar itu. Sedarlah, saudaraku! kawanku!” Sang Daun kembali berkata-kata dengan perasaan yang sedih kerana pertelingkahan saudaranya sendiri.
Perdebatan demi perdebatan terus bergulir di antara keduanya. Sang Pucuk tidak merasa harus mengalah sedikit pun terhadap Sang Akar. Ia merasa bahawa ialah segalanya, dialah ketua kerana berada di tempat yang paling atas. Ia merasa ditakdirkan Tuhan untuk berada di atas dengan segala penglihatannya yang luas akan dunia ini. Ia merasa Tuhan telah memberikan kekuasaan mutlak kepadanya untuk berbuat sesuka hati. Sementara, Sang Akar merasa kecewa, Sang Pucuk telah mengambil langkah yang keliru dalam melaksanakan upaya menjaga kelangsungan hidup seluruh bagian pohon tersebut. Dan, Sang Daun yang berusaha meleraikan perdebatan itu pun tak berdaya menenangkan keduanya, meski ia tak pernah merasa lelah untuk mendamaikan perseteruan dua saudara satu tubuh itu.
Waktu yang digariskan mungkin saja telah tiba, kerana perdebatan yang berlarutan itu, Sang Akar bermalas-malasan untuk menyerap air dan zat-zat yang dibutuhkannya. Demikian juga Sang Daun, kerana kelelahan melerai perdebatan kedua saudaranya, ia lupa untuk mengolah makanan meskipun matahari terus bersinar sepanjang hari. Dan, Sang Pucuk rupanya semakin terlena. Ia tidak menyadari dua saudara dibawahnya sudah mengalami gangguan. Ia tetap berlenggok mengikuti arah angin dengan irama yang menghiburkan hatinya. Hingga tibalah saat di mana angin justeru berhembus dengan sangat perlahan.
Sang Pucuk terlena kerana desirnya, ia merasa ngantuk dan ia biarkan gerakannya yang tidak beraturan, dan ia pun mulai terpejam. Terlelap dalam tidur yang tidak disedarinya, dan angin datang menyerang. Tubuhnya terkulai. Sang Daun yang lapar tidak berdaya menahan tubuh Sang Pucuk yang datang tiba-tiba. Ia ikut terjatuh. Sementara di bawah, Sang Akar yang bermalas-malasan tidak lagi memiliki cengkaman yang kuat terhadap tanah di sekelilingnya. Sang Akar tidak berkuasa menahan tubuh kedua saudaranya yang terjatuh lebih dulu. Ia tercabut, bercerai-berai.
Beginilah akhirnya kisah pohon cantik,sebuah cerita yang menyedihkan.Para pencari kayu bakar yang baik hati bermuram durja, sementara para penebang liar bergelak tawa, “Tak perlu kita robohkan, kawan. Mereka roboh sendiri kerana permusuhan…!! ” “O, bahkan tak perlu angin yang kencang rupanya…….kasihan betul…..” demikianlah kata penebang pohon yang liar.
Dari sini saudara-saudaraku dapatkah kita mengambil sedikit iktibar dari cerita ini?
Marilah kita jauhi permusuhan yang meleraikan silaturrahim antara kita,
janganlah berdendam kerana dendam itu tidak membawa kedamaian..
saling hormat menghormati dan bersatu padulah kita agar syiar Islam dapat diteruskan dan digemilangkan.. dan agar kita tetap menjadi orang yang beriman..
InsyaAllah
Danau toba
Di wilayah Sumatera hiduplah seorang petani yang sangat rajin bekerja.
Ia hidup sendiri sebatang kara. Setiap hari ia bekerja menggarap lading
dan mencari ikan dengan tidak mengenal lelah. Hal ini dilakukannya untuk
memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Pada suatu hari petani tersebut pergi ke sungai di dekat tempat
tinggalnya, ia bermaksud mencari ikan untuk lauknya hari ini. Dengan
hanya berbekal sebuah kail, umpan dan tempat ikan, ia pun langsung
menuju ke sungai. Setelah sesampainya di sungai, petani tersebut
langsung melemparkan kailnya. Sambil menunggu kailnya dimakan ikan,
petani tersebut berdoa,“Ya Alloh, semoga aku dapat ikan banyak hari
ini”. Beberapa saat setelah berdoa, kail yang dilemparkannya tadi nampak
bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya. Petani tersebut sangat
senang sekali, karena ikan yang didapatkannya sangat besar dan cantik
sekali.
Setelah beberapa saat memandangi ikan hasil tangkapannya, petani itu
sangat terkejut. Ternyata ikan yang ditangkapnya itu bisa berbicara.
“Tolong aku jangan dimakan Pak!! Biarkan aku hidup”, teriak ikan itu.
Tanpa banyak Tanya, ikan tangkapannya itu langsung dikembalikan ke dalam
air lagi. Setelah mengembalikan ikan ke dalam air, petani itu bertambah
terkejut, karena tiba-tiba ikan tersebut berubah menjadi seorang wanita
yang sangat cantik.
“Jangan takut Pak, aku tidak akan menyakiti kamu”, kata si ikan.
“Siapakah kamu ini? Bukankah kamu seekor ikan?, Tanya petani itu. “Aku
adalah seorang putri yang dikutuk, karena melanggar aturan kerajaan”,
jawab wanita itu. “Terimakasih engkau sudah membebaskan aku dari kutukan
itu, dan sebagai imbalannya aku bersedia kau jadikan istri”, kata
wanita itu. Petani itupun setuju. Maka jadilah mereka sebagai suami
istri. Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak
boleh menceritakan bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji
itu dilanggar maka akan terjadi petaka dahsyat.
Setelah beberapa lama mereka menikah, akhirnya kebahagiaan Petani dan
istrinya bertambah, karena istri Petani melahirkan seorang bayi
laki-laki. Anak mereka tumbuh menjadi anak yang sangat tampan dan kuat,
tetapi ada kebiasaan yang membuat heran semua orang. Anak tersebut
selalu merasa lapar, dan tidak pernah merasa kenyang. Semua jatah
makanan dilahapnya tanpa sisa.
Hingga suatu hari anak petani tersebut mendapat tugas dari ibunya untuk
mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang
bekerja. Tetapi tugasnya tidak dipenuhinya. Semua makanan yang
seharusnya untuk ayahnya dilahap habis, dan setelah itu dia tertidur di
sebuah gubug. Pak tani menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus
dan lapar. Karena tidak tahan menahan lapar, maka ia langsung pulang ke
rumah. Di tengah perjalanan pulang, pak tani melihat anaknya sedang
tidur di gubug. Petani tersebut langsung membangunkannya. “Hey, bangun!,
teriak petani itu.
Setelah anaknya terbangun, petani itu langsung menanyakan makanannya.
“Mana makanan buat ayah?”, Tanya petani. “Sudah habis kumakan”, jawab si
anak. Dengan nada tinggi petani itu langsung memarahi anaknya. "Anak
tidak tau diuntung ! Tak tahu diri! Dasar anak ikan!," umpat si Petani
tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan dari istrinya.
Setelah petani mengucapkan kata-kata tersebut, seketika itu juga anak
dan istrinya hilang lenyap tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan
kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras. Air meluap sangat
tinggi dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya
membentuk sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal dengan nama Danau
Toba.
salam rindu di album kenangan
Malam ini aku masih menikmati malam yang begitu indah menatap
bintang-bintang yang bertaburan di langit, angin kumbang pun terasa
dingin mendesir menggugah pori-poriku. Namun, semua itu bertolak
belakang dengan apa yang ku rasakan saat ini. Langit-langit hitam itu
membuatku terbayang akan seseorang yang dulu pernah hinggap di hatiku,
mengisi hari-hariku dan mewarnai hati yang sunyi ini menjadi pelangi.
Merry Asmara itulah nama yang pernah terukir di hatiku yang kian
perlahan menjauh dan memudar. Tapi semua itu sudah tinggal kenangan.
Iya, hari esok adalah hari perpisahan untuk mengukir kenangan terakhir di masa SMP-ku. Dan hari esok adalah awal dari cerita untuk mengisi cerita baru di akhir sapa teman-temanku.
“Dimas sudah malam, tidur nak. Besok kan harus sekolah,” Seru ibu dari dalam rumah menggugah lamunanku.
“Iya Bu,” Sahutku.
Aku pun bangkit dari tatapan langit yang begitu dingin disergap angin kumbang, dan masuk ke kamar membaringkan sekujur tubuhku seraya menutup mata untuk menyambut mimpi-mimpi malam. Keesokan harinya aku pun memulai hari ini dengan membuka jendela yang mulai ditembus cahaya dari kaca-kaca yang bening dengan sedikit bercak di setiap sudutnya. Mentari pagi sangat mendukung acara perpisahan SMP-ku.
Aku bergegas mandi dan berdandan memakai batik yang sudah ditetapkan perkelasnya. Batik yang ku kenakan berwarna putih dengan corak mega mendung dan bunga-bunga yang berwarna merah melengkung di kainnya. Setelah itu, aku sarapan pagi terlebih dahulu agar tidak lemas di pertengahan acara. Hmm, sarapan pagi ini sungguh tidak bisa ku nikmati, rasanya aku tidak ingin hari ini terjejali. Sangat tidak ku inginkan adanya acara perpisahan.
Usai sarapan aku mengeluarkan motorku dan mulai memanaskan mesinnya. Lalu, beberapa menit kemudian aku pamitan ke ibu dan bapakku. Setelah itu, aku melaju menuju tempat seperti biasa di mana sohib-sohibku berkumpul. Arrgh, sesampainya di sana ternyata mereka belum berangkat. Kayaknya aku harus menunggu. Aku pun menunggu mereka dengan tingkat kesabaran level tinggi. Soalnya mereka kalau belum pada kumpul, biasanya sibuk berak di WC. Jadi, aku harus tetap menunggu sohib-sohibku. Terlihat dari seberang jalan Ferdi sedang berjalan.
“Nah, itu dia. Ke luar juga batangnya,” Kataku dalam diam.
Ferdi selalu berangkat sekolah denganku, karena dia selalu berangkat jalan kaki. Dia juga sohibku yang selalu ada di sampingku dari suka maupun duka. Walaupun kadang tingkah lakunya aneh, tapi setidaknya dia yang selalu mengiburku, dia yang selalu membuatku tertawa lepas. Di samping Ferdi sedang berjalan, Bahari pun menyusul dari belakang sembari membawa motor jagurnya. Sekarang semuanya sudah berkumpul, aku pun menyalakan motorku dan melaju menuju sekolah.
Sesampainya di sekolah ternyata siswa-siswi sudah siap dan berbaris di pinggir musala. Aku dan sohibku menyusul mengisi barisan kosong yang sudah tertata di setiap kelasnya untuk menuju lapangan yang dipenuhi kursi-kursi. Akan tetapi ada yang kurang dengan pandanganku. Soalnya pagi ini aku belum melihat Merry. Sepertinya dia datang terlambat. Upss, kenapa aku mikirin dia ya? Sebenarnya nama dia selalu ada di hatiku dan terukir permanen. Entah namanya bisa dihapus atau nggak? Harusnya aku tidak memutuskkan Merry, tapi waktu itu keluargaku sedang diambang kehancuran. Jadi, aku tidak berkomunikasi dengan Merry sampai seminggu lebih, karena saat itu aku benar-benar depresi, pikiranku stres. Jadi, aku tidak kepikiran dia.
Sampai-sampai dia menghubungiku dan menanyakan sesuatu tentang kenapa aku tidak mengontek dia. Aku pun menjawab dengan jujur tentang permasalahanku dengan kondisi keluarga yang kritis. Akan tetapi saat itu aku sangat tidak enak dengan Merry, aku khilaf. Hubunganku dengan Merry jadi tidak nyaman lagi. Jadi, berhubung semuanya sudah jelas, tiga hari sebelum acara perpisahan, aku memutuskan Merry. Karena aku tidak ingin menyakiti dia lebih dalam lagi. Walaupun aku tidak rela melepaskan dia dari pelukan cintaku, karena sebenarnya aku memutuskan dia karena keadaan keluargaku. Jadi, apa boleh buat? Toh jodoh sih enggak ke mana-mana, aku percaya itu.
Acara pun sudah dimulai, siswa-siswi duduk sesuai dengan kursi per kelasnya. Sungguh acaranya sangat meriah, penampilan pertama yaitu tarian adat yang diiringi dengan musik dari marching band. Dilanjut dengan penampilan-penampilan dari setiap siswa-siswinya. Ada yang menampilkan dangdut sambil bergoyang bareng. Ada juga yang menampilkan band yang akan diisi oleh sohibku Ferdi dengan personil lainnya. Melihat mereka menampilankan pentas seninya, aku jadi ingin menampilkan sesuatu yang berkaitan dengan suasana hatiku sekarang.
“Dim, kamu nggak tampil?” Tanya Evi teman cewek yang sekelas denganku.
“Nggak. Kan aku baru bias main gitar,” Jawabku tersenyum kecut.
Andaikan saja aku bisa bermain musik, pasti aku akan tampil di acara ini. Tapi berhubung aku baru belajar gitar, jadi aku enggak bisa tampil. Dilanjut dengan penampilan terakhir dari team paduan suara yang menampilkan lagu perpisahan sahabat dan ucapan terima kasih kepada guru-guru. Ketika itu, aku bengong mendengarkan setiap lliriknya. Sungguh liriknya sangat merana. Seketika aku memperhatikan penampilannya, aku melihat Merry sedang berdiri diapit oleh beberapa rekannya. Dia juga ikutan bernyanyi, aku pun memperhatikan dia. Terlihat di matanya memancarkan kesedihan, kesedihan yang membuat alunan nyanyian itu sangat dihayati.
“Dimas, itu Merry nampilin buat kamu,” Gurau Ferdi yang duduk di sebelahku.
“Apaan sih, dia tampil buat teman-temannya kali,” Tuturku dengan sedikit kesal.
Beberapa jam kemudian, akhirnya acara itu selesai juga. Disusul dengan sesi pengambilan buku album dan kalung yang dibanduli gambar logo SMP-ku. Setelah aku mendapatkannya, mataku celingak-celinguk lirik kanan lirik kiri. Namun, Merry tidak juga menampakkan paras anggunnya. Sebenarnya, aku ingin memberikan buku harianku. Karena, waktu itu aku sudah berjanji akan menyerahkan buku harianku sesudah acara perpisahan sebagai kenangan. Tetapi dia sepertinya sudah pulang duluan. Aku bertanya-tanya pada teman-temannya.
“Dewi, tahu Merry nggak?” Tanyaku sembari celingak-celinguk.
“Nggak tahu. Kayaknya dia udah pulang dulan,” Jawabnya sambil menikmati snack.
“Ya sudah, makasih yaaa,”
Aku kembali mencari Merry, tapi sepertinya apa yang dikatakan Dewi benar. Merry sudah pulang. Jadi aku menitipkan buku harianku pada Dewi teman sekelasnya. Acara pun mulai sepi, siswa-siswi sudah pada pulang. Sedangkan sisanya lagi pose-pose untuk kenang-kenangan. Aku pun bergabung dengan mereka dan ikut berpose. Hari sudah semakin sore, cahaya ufuk di barat pun sudah mulai menjingga. Aku bergegas pulang dengan membawa seberkas kenangan untuk hari ini dan membuka lembaran baru untuk hari esok. Usai siang malam pun tiba. Seperti biasa aku menikmatinya di kesendirianku bersamaan dengan kisah hatiku. Pikiranku melayang ketika membayangkan Merry, aku pun mencoba SMS ke dia.
“Assalamualaikum. Bagaimana acara tadi? Seru kan?” Kirim SMS-ku ke Merry.
“Waalaikumsalam. Iya seru, tapi sedih juga sih, bahkan sedihnya dua kali lipat,” Jawabnya dari seberang.
“Emang selain sedih berpisah dengan sahabat, sedih kenapa lagi?” Tanyaku.
“Ada deh,” Jawab Merry singkat.
“Oh iyah, buku harianku aku titipkan ke Dewi. Soalnya waktu siang aku cari-cari kamu tapi nggak ketemu juga. Jadi, aku titipkan saja ke Dewi,” Jawabku dengan semangat mengetik SMS-nya.
“Ya sudah, makasih yaah. Terima kasih juga sudah mengisi hari-hariku. Aku akan menyimpan buku harian itu sebagai kenangan untuk melengkapi album kenanganku. Semoga kamu bisa masuk ke SMA yang kamu inginkan,”
“Iya sama-sama. Terima kasih juga sudah mau menyimpan buku harianku dengan baik. Salam rindu untuk yang terkenang,” Tutupku.
Merry tidak lagi membalas SMS-ku. Sedangkan, aku masih duduk di depan halaman rumah menikmati rembulan malam. Membayangkan kisah dulu dan memikirkan rencana untuk masa yang akan datang. Karena hari esok adalah langkah yang harus ku lakukan untuk membuka lembaran baru di awal masa-masa kedewasaan yaitu SMA. Akan tetapi, walaupun aku akan membuka lembaran baru. Merry akan selalu terukir di hatiku, sekali pun lembaran baru itu berkali-kali aku buat. Namanya akan selalu terukir duluan di setiap lembaran barunya untuk memulai cerita selanjutnya. Dan untuk sahabat, semoga perpisahan ini bukanlah akhir dari segalanya. Walaupun sekolah kita berbeda, aku berharap kita akan selalu bersama untuk mewarnai kenangan yang lebih indah dari kenangan-kenangan sebelumnya.
Iya, hari esok adalah hari perpisahan untuk mengukir kenangan terakhir di masa SMP-ku. Dan hari esok adalah awal dari cerita untuk mengisi cerita baru di akhir sapa teman-temanku.
“Dimas sudah malam, tidur nak. Besok kan harus sekolah,” Seru ibu dari dalam rumah menggugah lamunanku.
“Iya Bu,” Sahutku.
Aku pun bangkit dari tatapan langit yang begitu dingin disergap angin kumbang, dan masuk ke kamar membaringkan sekujur tubuhku seraya menutup mata untuk menyambut mimpi-mimpi malam. Keesokan harinya aku pun memulai hari ini dengan membuka jendela yang mulai ditembus cahaya dari kaca-kaca yang bening dengan sedikit bercak di setiap sudutnya. Mentari pagi sangat mendukung acara perpisahan SMP-ku.
Aku bergegas mandi dan berdandan memakai batik yang sudah ditetapkan perkelasnya. Batik yang ku kenakan berwarna putih dengan corak mega mendung dan bunga-bunga yang berwarna merah melengkung di kainnya. Setelah itu, aku sarapan pagi terlebih dahulu agar tidak lemas di pertengahan acara. Hmm, sarapan pagi ini sungguh tidak bisa ku nikmati, rasanya aku tidak ingin hari ini terjejali. Sangat tidak ku inginkan adanya acara perpisahan.
Usai sarapan aku mengeluarkan motorku dan mulai memanaskan mesinnya. Lalu, beberapa menit kemudian aku pamitan ke ibu dan bapakku. Setelah itu, aku melaju menuju tempat seperti biasa di mana sohib-sohibku berkumpul. Arrgh, sesampainya di sana ternyata mereka belum berangkat. Kayaknya aku harus menunggu. Aku pun menunggu mereka dengan tingkat kesabaran level tinggi. Soalnya mereka kalau belum pada kumpul, biasanya sibuk berak di WC. Jadi, aku harus tetap menunggu sohib-sohibku. Terlihat dari seberang jalan Ferdi sedang berjalan.
“Nah, itu dia. Ke luar juga batangnya,” Kataku dalam diam.
Ferdi selalu berangkat sekolah denganku, karena dia selalu berangkat jalan kaki. Dia juga sohibku yang selalu ada di sampingku dari suka maupun duka. Walaupun kadang tingkah lakunya aneh, tapi setidaknya dia yang selalu mengiburku, dia yang selalu membuatku tertawa lepas. Di samping Ferdi sedang berjalan, Bahari pun menyusul dari belakang sembari membawa motor jagurnya. Sekarang semuanya sudah berkumpul, aku pun menyalakan motorku dan melaju menuju sekolah.
Sesampainya di sekolah ternyata siswa-siswi sudah siap dan berbaris di pinggir musala. Aku dan sohibku menyusul mengisi barisan kosong yang sudah tertata di setiap kelasnya untuk menuju lapangan yang dipenuhi kursi-kursi. Akan tetapi ada yang kurang dengan pandanganku. Soalnya pagi ini aku belum melihat Merry. Sepertinya dia datang terlambat. Upss, kenapa aku mikirin dia ya? Sebenarnya nama dia selalu ada di hatiku dan terukir permanen. Entah namanya bisa dihapus atau nggak? Harusnya aku tidak memutuskkan Merry, tapi waktu itu keluargaku sedang diambang kehancuran. Jadi, aku tidak berkomunikasi dengan Merry sampai seminggu lebih, karena saat itu aku benar-benar depresi, pikiranku stres. Jadi, aku tidak kepikiran dia.
Sampai-sampai dia menghubungiku dan menanyakan sesuatu tentang kenapa aku tidak mengontek dia. Aku pun menjawab dengan jujur tentang permasalahanku dengan kondisi keluarga yang kritis. Akan tetapi saat itu aku sangat tidak enak dengan Merry, aku khilaf. Hubunganku dengan Merry jadi tidak nyaman lagi. Jadi, berhubung semuanya sudah jelas, tiga hari sebelum acara perpisahan, aku memutuskan Merry. Karena aku tidak ingin menyakiti dia lebih dalam lagi. Walaupun aku tidak rela melepaskan dia dari pelukan cintaku, karena sebenarnya aku memutuskan dia karena keadaan keluargaku. Jadi, apa boleh buat? Toh jodoh sih enggak ke mana-mana, aku percaya itu.
Acara pun sudah dimulai, siswa-siswi duduk sesuai dengan kursi per kelasnya. Sungguh acaranya sangat meriah, penampilan pertama yaitu tarian adat yang diiringi dengan musik dari marching band. Dilanjut dengan penampilan-penampilan dari setiap siswa-siswinya. Ada yang menampilkan dangdut sambil bergoyang bareng. Ada juga yang menampilkan band yang akan diisi oleh sohibku Ferdi dengan personil lainnya. Melihat mereka menampilankan pentas seninya, aku jadi ingin menampilkan sesuatu yang berkaitan dengan suasana hatiku sekarang.
“Dim, kamu nggak tampil?” Tanya Evi teman cewek yang sekelas denganku.
“Nggak. Kan aku baru bias main gitar,” Jawabku tersenyum kecut.
Andaikan saja aku bisa bermain musik, pasti aku akan tampil di acara ini. Tapi berhubung aku baru belajar gitar, jadi aku enggak bisa tampil. Dilanjut dengan penampilan terakhir dari team paduan suara yang menampilkan lagu perpisahan sahabat dan ucapan terima kasih kepada guru-guru. Ketika itu, aku bengong mendengarkan setiap lliriknya. Sungguh liriknya sangat merana. Seketika aku memperhatikan penampilannya, aku melihat Merry sedang berdiri diapit oleh beberapa rekannya. Dia juga ikutan bernyanyi, aku pun memperhatikan dia. Terlihat di matanya memancarkan kesedihan, kesedihan yang membuat alunan nyanyian itu sangat dihayati.
“Dimas, itu Merry nampilin buat kamu,” Gurau Ferdi yang duduk di sebelahku.
“Apaan sih, dia tampil buat teman-temannya kali,” Tuturku dengan sedikit kesal.
Beberapa jam kemudian, akhirnya acara itu selesai juga. Disusul dengan sesi pengambilan buku album dan kalung yang dibanduli gambar logo SMP-ku. Setelah aku mendapatkannya, mataku celingak-celinguk lirik kanan lirik kiri. Namun, Merry tidak juga menampakkan paras anggunnya. Sebenarnya, aku ingin memberikan buku harianku. Karena, waktu itu aku sudah berjanji akan menyerahkan buku harianku sesudah acara perpisahan sebagai kenangan. Tetapi dia sepertinya sudah pulang duluan. Aku bertanya-tanya pada teman-temannya.
“Dewi, tahu Merry nggak?” Tanyaku sembari celingak-celinguk.
“Nggak tahu. Kayaknya dia udah pulang dulan,” Jawabnya sambil menikmati snack.
“Ya sudah, makasih yaaa,”
Aku kembali mencari Merry, tapi sepertinya apa yang dikatakan Dewi benar. Merry sudah pulang. Jadi aku menitipkan buku harianku pada Dewi teman sekelasnya. Acara pun mulai sepi, siswa-siswi sudah pada pulang. Sedangkan sisanya lagi pose-pose untuk kenang-kenangan. Aku pun bergabung dengan mereka dan ikut berpose. Hari sudah semakin sore, cahaya ufuk di barat pun sudah mulai menjingga. Aku bergegas pulang dengan membawa seberkas kenangan untuk hari ini dan membuka lembaran baru untuk hari esok. Usai siang malam pun tiba. Seperti biasa aku menikmatinya di kesendirianku bersamaan dengan kisah hatiku. Pikiranku melayang ketika membayangkan Merry, aku pun mencoba SMS ke dia.
“Assalamualaikum. Bagaimana acara tadi? Seru kan?” Kirim SMS-ku ke Merry.
“Waalaikumsalam. Iya seru, tapi sedih juga sih, bahkan sedihnya dua kali lipat,” Jawabnya dari seberang.
“Emang selain sedih berpisah dengan sahabat, sedih kenapa lagi?” Tanyaku.
“Ada deh,” Jawab Merry singkat.
“Oh iyah, buku harianku aku titipkan ke Dewi. Soalnya waktu siang aku cari-cari kamu tapi nggak ketemu juga. Jadi, aku titipkan saja ke Dewi,” Jawabku dengan semangat mengetik SMS-nya.
“Ya sudah, makasih yaah. Terima kasih juga sudah mengisi hari-hariku. Aku akan menyimpan buku harian itu sebagai kenangan untuk melengkapi album kenanganku. Semoga kamu bisa masuk ke SMA yang kamu inginkan,”
“Iya sama-sama. Terima kasih juga sudah mau menyimpan buku harianku dengan baik. Salam rindu untuk yang terkenang,” Tutupku.
Merry tidak lagi membalas SMS-ku. Sedangkan, aku masih duduk di depan halaman rumah menikmati rembulan malam. Membayangkan kisah dulu dan memikirkan rencana untuk masa yang akan datang. Karena hari esok adalah langkah yang harus ku lakukan untuk membuka lembaran baru di awal masa-masa kedewasaan yaitu SMA. Akan tetapi, walaupun aku akan membuka lembaran baru. Merry akan selalu terukir di hatiku, sekali pun lembaran baru itu berkali-kali aku buat. Namanya akan selalu terukir duluan di setiap lembaran barunya untuk memulai cerita selanjutnya. Dan untuk sahabat, semoga perpisahan ini bukanlah akhir dari segalanya. Walaupun sekolah kita berbeda, aku berharap kita akan selalu bersama untuk mewarnai kenangan yang lebih indah dari kenangan-kenangan sebelumnya.
ulang tahun untuk bunda
Rentang waktu
terkadang membuat kita lupa
bahwa kita semakin dewasa
Rentang waktu
terkadang membuat kita lupa
bahwa kita telah melanggar titah Yang Kuasa
Rentang waktu
terkadang membuat kita sadar
bahwa kita hanya manusia
yang tak punya apa-apa
selain jasad yang tak berguna
Rentang waktu
terkadang membuat kita sadar
bahwa Tuhan tidak melihat harta dan rupa
melainkan hati yang ada di dalam dada
dan amal jasad yang lata
Walau Einstein berkata bahwa rentang waktu itu berbeda
tergantung dalam keadaan apa kita berada
Namun Tuhan telah berkata,
“Hanya Akulah yang tahu umur manusia”.
Sekular barat berkata,
“Waktu adalah dollar di dalam kantung”
Namun Hasan Al-Bana berkata,
“Waktu adalah pedang, potong atau terpotong”.
Waktu…..
Alam terus menari dalam simfoninya
Waktu…..
Umur manusia didikte olehnya
Waktu….. setiap detaknya
memakukan kita di persimpangan jalan
jalan Tuhan atau jalan setan
Rentang waktu…..
semoga tak melalaikan kita
tuk terus berjalan di jalan-Nya
Langganan:
Postingan (Atom)