Putri Handayani. Itu nama lengkap aku. Uti. Itu nama panggilanku.
Pelajar. Itu statusku. Polos. Kata orang-orang itu jiwaku. Naruto. Itu
anime kesukaanku. Tapi, “Jomblo” mungkin itu nasibku. Jomblo. Jomblo itu
ibarat kue lapis yang punya kisah dan warna berlapis-lapis. Bukan cuma
warna dan kisah yang berlapis-lapis, tapi Jomblo itu juga punya masalah
yang berlapis-lapis. Jomblo juga ibarat permen yang punya rasa manis,
asem dan asin. Ya, walau sebenarnya Jomblo itu lebih sering ngerasain
rasa asem, asin, yang berlanjut ke rasa pahit. Rasa manis jarang datang
ke orang-orang yang punya status Jomblo kayak aku.
Aku itu salah satu perempuan cantik yang nggak pintar, nggak punya
banyak uang, nggak punya postur tinggi, tapi punya kulit putih, mata
sipit, dan rambut lurus. Jujur, sampai sekarang aku juga bingung kenapa
aku dengan keadaan yang hampir mendekati ketidaksempurnaan sejati dan
menjauhi sejauh-jauhnya titik kesempurnaan, masih tetap stay sama yang
namanya Jomblo.
Di sekolah, aku punya teman dengan postur tubuh tinggi, berisi, dan
cantik. Tapi, dia itu nggak pintar dan sering nggak nyambung kalau
diajak bicara. Dia itu punya banyak kekurangan yang bisa nutupin semua
kelebihannya dia. Ibarat satu tetes darah yang jatuh ke laut. Bayangin
aja, satu tetes darah dibandingin sama banyaknya air laut itu nggak ada
apa-apanya. Satu hal yang mengherankan dari dia, dia itu nggak terjebak
sama yang namanya nasib men-Jomblo.
Rasa pengen tahu itu ibarat bunga yang makin hari makin tumbuh besar
terus punya akar yang makin panjang. Kira-kira itu istilah yang cocok
untuk rasa pengen tahu yang ada dalam diri aku. Rasa pengen tahu itu
tertuju buat perempuan yang aku sebut dengan kata “dia” tadi. Kenapa?
Kenapa rasa pengen tahu itu tertuju sama perempuan itu? Jawabannya
mungkin karena dia merupakan salah satu perempuan beruntung dengan wajah
yang pas-pas-an itu, dia bisa bebas dengan mudahnya dari nasib
men-Jomblo.
Suatu hari, aku ngelihat dia lagi jalan bareng boyfriend barunya.
Waktu itu tepat pukul 15.00 WIB. Aku sengaja ngikutin dia karena
kepengen tahu apa-apa aja yang dia perbuat selama jalan sama
boyfriend-nya itu. Maklumlah, kebiasaan Jomblo itu memang kepengen tahu
banyak tentang orang-orang yang udah punya boyfriend atau girlfriend.
Tujuannya nggak lain nggak bukan ya kepengen nyari inspirasi gitu.
Hahaha.
Pertama, mereka berdua jalan ke arah tanggul dekat sekolah. Di
tanggul itu ada rumah makan kecil kalau nggak salah nama rumah makannya
itu “Rumah Makan Samun Tarutung”. Mereka berdua makan di rumah makan
itu. Keadaan langit waktu itu gelap dan awan hitam mulai menyelimuti
kota. Tanpa peduli sama keadaan langit dan awan, aku terus memperhatikan
gerak-gerik mereka berdua. Nasi goreng. Itu makanan pesanan mereka.
Tiba-tiba mulutku menganga melihat makanan kesukaanku. Bayangin aja,
nasi goreng spesial dengan ayam spesial dan bumbu spesial. “Duaarr…”
sontak aku terkejut mendengar suara petir yang seolah ingin
menyadarkanku dari keadaan nasi goreng yang menghanyutkan itu.
Nggak lama setelah itu, hujan deras pun membasahi kota. Tapi, niatku
untuk membuntuti mereka justru makin membara. Posisiku nggak jauh dari
posisi mereka berdua, tapi aku nggak bisa dengar tentang apa-apa aja
yang mereka berdua bahas dalam obrolan seru mereka. Jelas aja, suara
hujan yang jatuh keroyokan jadi penyebab itu semua. Hampir setengah jam
aku nunggu hingga pada akhirnya hujan berhenti dan mereka berdua mulai
beranjak dari tempat duduk mereka.
Perjalanan dilanjutkan. Di tengah jalan waktu ngikutin mereka,
tiba-tiba orang gila ngenes yang sering dipanggil “Si Mamma” nyamperin
aku. Jujur, aku udah berusaha untuk nggak peduli sama dia. Eh, dia malah
makin dekat sama aku. Keringat bercucuran di pipiku. Muka memerah
ibaratkan tomat busuk. Kaki gemetar bagaikan mesin cor jalanan.
“Hai, kamu pergi ya. Jangan dekat-dekat sama aku lagi. Sana!” aku ngusir dia pake suara sok lantang.
“hehehe,” balas orang gila tadi.
“Arrgghh… jangan dekat-dekat! Sana!” panjangin langkah.
“hehehe, kamu anak Mamma, anak Mamma,” dia narik-narik baju aku.
“Huaaa…”
Niat di awal itu cuma mau ngebuntutin dia sama boyfriendnya tadi. Eh,
nggak ada hujan nggak ada badai malah ketemu sama Si Mamma. Lari di
sekitaran kota karena dikejar-kejar sama orang gila itu ibaratkan makan
sambil sakit perut. Malunya itu loh, nggak nahan. Gara-gara Si Mamma,
aku kehilangan jejak mereka berdua. Ambil keputusan buat pulang ke
rumah. Di perjalanan pulang, aku ngelihat teman aku yang lain yang juga
lagi jalan sama girlfriendnya. Dia ngelirik ke arah aku terus dia ngasih
senyum nyindir. Rasanya tuh, agak gimana.. gitu. Pasang muka tembok,
aku jalan aja terus.
“Uti… Uti…” ada suara dari belakang.
“Uti… Uti… tungguin aku,”
Kepala nengok ke belakang. Ternyata ada si Labora Ambarita. Labora
itu juga salah satu Jomblo yang bisa dibilang punya nasib Jomblo lebih
parah dari aku. Hahaha.. maklum aja, dia itu teman aku yang kalau kita
ngobrol sama dia pasti semua-muanya disangkutin sama pelajaran Biologi.
Kacamata tebal, rambut gelombang, di pipi ada jerawat batunya. Biologi,
pelajaran kesukaannya. Mungkin itu jadi salah satu penyebab dia bertahan
sama status Jomblo itu. Tapi, biar begitu dia itu salah satu teman aku
yang paling baik dan paling ngerti aku.
“Kamu dari mana?” dia nanya sama aku.
“Baru jalan-jalan dari tanggul. Kalau kamu?” aku jawab terus nanya balik.
“Aku baru ngebuntutin si Sinar. Aku lihat dia punya pacar baru Uti. Sedih deh”
Alis aku tiba-tiba naik sebelah, hidung aku kembang kempis, jidat aku
ngerut, mulut aku menganga, perut serasa ada yang ngelitik, muka aku
kaku.
“A… Ap.. hahaha… Wkwkwkwk”
“Kok malah ketawa? Aku serius loh Uti”
“hahaha, so do I. Hahaha”
“Ya udah, jangan ketawa lagi. Lagi sedih aku loh,”
“Iya, so do I. Wkwkwkwk”
“Jangan ketawa kau Uti. Udah gila aku,”
“So do I. Eh…”
“Wkwkwk, jadi ceritanya kita sama-sama gila ya? hahaha,”
“nggaklah, aku orangnya terus kamu yang bagian gilanya,”
“Hiks… Hiks.. Uti jahat”
Susasana waktu itu pecah jadi suasana lucu. Mulai waktu itu, aku
sadar kalau status Jomblo itu nggak selalu ngasih dampak buruk kok buat
kita. Status Jomblo itu malah ngasih kita banyak keuntungan. Kalau aku
nggak Jomblo, mungkin aku nggak bakal bisa ketawa ngakak di tempat ramai
karena alasan jaga image. Selain itu, Jomblo itu juga bisa bebas pergi
ke mana aja, berteman sama siapa aja, dan nggak harus pusing mau punya
penampilan kayak gimana aja.
Jomblo itu salah satu nikmat bagi orang-orang yang bisa ngambil
hal-hal positif dari nasib men-Jomblo itu sendiri. Tapi, jangan mau jadi
Jomblo selamanya karena kita juga harus punya pendamping hidup sampai
kita tua nanti. Hidup itu cuma sekali, jadi jangan ragu buat ngelakuin
hal-hal apa aja yang kita mau. Omongan orang jangan terlalu dibikin jadi
beban pikiran. Jalani, nikmati dan syukuri. Itu aja, so everything will
be okay.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar