Sabtu, 26 Desember 2015

jomblo di kejar mama

 Putri Handayani. Itu nama lengkap aku. Uti. Itu nama panggilanku. Pelajar. Itu statusku. Polos. Kata orang-orang itu jiwaku. Naruto. Itu anime kesukaanku. Tapi, “Jomblo” mungkin itu nasibku. Jomblo. Jomblo itu ibarat kue lapis yang punya kisah dan warna berlapis-lapis. Bukan cuma warna dan kisah yang berlapis-lapis, tapi Jomblo itu juga punya masalah yang berlapis-lapis. Jomblo juga ibarat permen yang punya rasa manis, asem dan asin. Ya, walau sebenarnya Jomblo itu lebih sering ngerasain rasa asem, asin, yang berlanjut ke rasa pahit. Rasa manis jarang datang ke orang-orang yang punya status Jomblo kayak aku.
Aku itu salah satu perempuan cantik yang nggak pintar, nggak punya banyak uang, nggak punya postur tinggi, tapi punya kulit putih, mata sipit, dan rambut lurus. Jujur, sampai sekarang aku juga bingung kenapa aku dengan keadaan yang hampir mendekati ketidaksempurnaan sejati dan menjauhi sejauh-jauhnya titik kesempurnaan, masih tetap stay sama yang namanya Jomblo.
Di sekolah, aku punya teman dengan postur tubuh tinggi, berisi, dan cantik. Tapi, dia itu nggak pintar dan sering nggak nyambung kalau diajak bicara. Dia itu punya banyak kekurangan yang bisa nutupin semua kelebihannya dia. Ibarat satu tetes darah yang jatuh ke laut. Bayangin aja, satu tetes darah dibandingin sama banyaknya air laut itu nggak ada apa-apanya. Satu hal yang mengherankan dari dia, dia itu nggak terjebak sama yang namanya nasib men-Jomblo.
Rasa pengen tahu itu ibarat bunga yang makin hari makin tumbuh besar terus punya akar yang makin panjang. Kira-kira itu istilah yang cocok untuk rasa pengen tahu yang ada dalam diri aku. Rasa pengen tahu itu tertuju buat perempuan yang aku sebut dengan kata “dia” tadi. Kenapa? Kenapa rasa pengen tahu itu tertuju sama perempuan itu? Jawabannya mungkin karena dia merupakan salah satu perempuan beruntung dengan wajah yang pas-pas-an itu, dia bisa bebas dengan mudahnya dari nasib men-Jomblo.
Suatu hari, aku ngelihat dia lagi jalan bareng boyfriend barunya. Waktu itu tepat pukul 15.00 WIB. Aku sengaja ngikutin dia karena kepengen tahu apa-apa aja yang dia perbuat selama jalan sama boyfriend-nya itu. Maklumlah, kebiasaan Jomblo itu memang kepengen tahu banyak tentang orang-orang yang udah punya boyfriend atau girlfriend. Tujuannya nggak lain nggak bukan ya kepengen nyari inspirasi gitu. Hahaha.
Pertama, mereka berdua jalan ke arah tanggul dekat sekolah. Di tanggul itu ada rumah makan kecil kalau nggak salah nama rumah makannya itu “Rumah Makan Samun Tarutung”. Mereka berdua makan di rumah makan itu. Keadaan langit waktu itu gelap dan awan hitam mulai menyelimuti kota. Tanpa peduli sama keadaan langit dan awan, aku terus memperhatikan gerak-gerik mereka berdua. Nasi goreng. Itu makanan pesanan mereka. Tiba-tiba mulutku menganga melihat makanan kesukaanku. Bayangin aja, nasi goreng spesial dengan ayam spesial dan bumbu spesial. “Duaarr…” sontak aku terkejut mendengar suara petir yang seolah ingin menyadarkanku dari keadaan nasi goreng yang menghanyutkan itu.
Nggak lama setelah itu, hujan deras pun membasahi kota. Tapi, niatku untuk membuntuti mereka justru makin membara. Posisiku nggak jauh dari posisi mereka berdua, tapi aku nggak bisa dengar tentang apa-apa aja yang mereka berdua bahas dalam obrolan seru mereka. Jelas aja, suara hujan yang jatuh keroyokan jadi penyebab itu semua. Hampir setengah jam aku nunggu hingga pada akhirnya hujan berhenti dan mereka berdua mulai beranjak dari tempat duduk mereka.
Perjalanan dilanjutkan. Di tengah jalan waktu ngikutin mereka, tiba-tiba orang gila ngenes yang sering dipanggil “Si Mamma” nyamperin aku. Jujur, aku udah berusaha untuk nggak peduli sama dia. Eh, dia malah makin dekat sama aku. Keringat bercucuran di pipiku. Muka memerah ibaratkan tomat busuk. Kaki gemetar bagaikan mesin cor jalanan.
“Hai, kamu pergi ya. Jangan dekat-dekat sama aku lagi. Sana!” aku ngusir dia pake suara sok lantang.
“hehehe,” balas orang gila tadi.
“Arrgghh… jangan dekat-dekat! Sana!” panjangin langkah.
“hehehe, kamu anak Mamma, anak Mamma,” dia narik-narik baju aku.
“Huaaa…”
Niat di awal itu cuma mau ngebuntutin dia sama boyfriendnya tadi. Eh, nggak ada hujan nggak ada badai malah ketemu sama Si Mamma. Lari di sekitaran kota karena dikejar-kejar sama orang gila itu ibaratkan makan sambil sakit perut. Malunya itu loh, nggak nahan. Gara-gara Si Mamma, aku kehilangan jejak mereka berdua. Ambil keputusan buat pulang ke rumah. Di perjalanan pulang, aku ngelihat teman aku yang lain yang juga lagi jalan sama girlfriendnya. Dia ngelirik ke arah aku terus dia ngasih senyum nyindir. Rasanya tuh, agak gimana.. gitu. Pasang muka tembok, aku jalan aja terus.
“Uti… Uti…” ada suara dari belakang.
“Uti… Uti… tungguin aku,”
Kepala nengok ke belakang. Ternyata ada si Labora Ambarita. Labora itu juga salah satu Jomblo yang bisa dibilang punya nasib Jomblo lebih parah dari aku. Hahaha.. maklum aja, dia itu teman aku yang kalau kita ngobrol sama dia pasti semua-muanya disangkutin sama pelajaran Biologi. Kacamata tebal, rambut gelombang, di pipi ada jerawat batunya. Biologi, pelajaran kesukaannya. Mungkin itu jadi salah satu penyebab dia bertahan sama status Jomblo itu. Tapi, biar begitu dia itu salah satu teman aku yang paling baik dan paling ngerti aku.
“Kamu dari mana?” dia nanya sama aku.
“Baru jalan-jalan dari tanggul. Kalau kamu?” aku jawab terus nanya balik.
“Aku baru ngebuntutin si Sinar. Aku lihat dia punya pacar baru Uti. Sedih deh”
Alis aku tiba-tiba naik sebelah, hidung aku kembang kempis, jidat aku ngerut, mulut aku menganga, perut serasa ada yang ngelitik, muka aku kaku.
“A… Ap.. hahaha… Wkwkwkwk”
“Kok malah ketawa? Aku serius loh Uti”
“hahaha, so do I. Hahaha”
“Ya udah, jangan ketawa lagi. Lagi sedih aku loh,”
“Iya, so do I. Wkwkwkwk”
“Jangan ketawa kau Uti. Udah gila aku,”
“So do I. Eh…”
“Wkwkwk, jadi ceritanya kita sama-sama gila ya? hahaha,”
“nggaklah, aku orangnya terus kamu yang bagian gilanya,”
“Hiks… Hiks.. Uti jahat”
Susasana waktu itu pecah jadi suasana lucu. Mulai waktu itu, aku sadar kalau status Jomblo itu nggak selalu ngasih dampak buruk kok buat kita. Status Jomblo itu malah ngasih kita banyak keuntungan. Kalau aku nggak Jomblo, mungkin aku nggak bakal bisa ketawa ngakak di tempat ramai karena alasan jaga image. Selain itu, Jomblo itu juga bisa bebas pergi ke mana aja, berteman sama siapa aja, dan nggak harus pusing mau punya penampilan kayak gimana aja.
Jomblo itu salah satu nikmat bagi orang-orang yang bisa ngambil hal-hal positif dari nasib men-Jomblo itu sendiri. Tapi, jangan mau jadi Jomblo selamanya karena kita juga harus punya pendamping hidup sampai kita tua nanti. Hidup itu cuma sekali, jadi jangan ragu buat ngelakuin hal-hal apa aja yang kita mau. Omongan orang jangan terlalu dibikin jadi beban pikiran. Jalani, nikmati dan syukuri. Itu aja, so everything will be okay.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar