kunjungan ke museum Thiong-hoa
Laporan Hasil Kunjungan Ke Museum Hakka Indonesia
(Museum Tionghoa)
Nama : SANCHIKA DWI ANELA
Kelas : 1EA09
Npm : 16215363
Tugas : Ilmu Budaya Dasar
Berikut ini adalah laporan hasil kunjungan kelompok kami ke Museum Hakka Indonesia yang berada di TMII
“Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina.” Kutipan terkenal tersebut menggambarkan tentang peran penting Negera Tirai Bambu tersebut sebagai salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia. Di Indonesia, masyarakat keturunan dari dataran Tiongkok tersebut lebih akrab disebut sebagai ‘kaum peranakan’ atau orang Tionghoa. Di era tahun 70an hingga 90-an, tercatat beberapa nama masyarakat Tionghoa di Indonesia yang menorehkan prestasi emas di bidang bulutangkis (badminton) seperti Rudy Hartono juara All England termuda sekaligus terbanyak, serta peraih emas perdana Indonesia di Olimpiade yaitu pasangan Susi Susanti bersama Alan Budikusuma, dan lainnya. Lalu di bidang birokrasi dan pemerintahan, tercatat nama Kwik Kian Gie, Menko Ekonomi di era Presiden Gus Dur dan Megawati serta Basuki ‘Ahok’ T. Purnama, Gubernur DKI saat ini.
Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang diprakarsai pada tahun 1975 oleh First Lady Indonesia kedua, Ibu Tien Soeharto, juga turut menjembatani asimilasi atau pembauran budaya antara kaum Tionghoa dan masyarakat Indonesia. Presiden RI kedua, Soeharto, yang juga Ketua Yayasan Harapan Kita, meresmikan pembangunan Taman Budaya Tionghoa Indonesia (TBTI) pada tahun 2006 di TMII. Tahun 2012, Museum Hakka Indonesia (MHI) sebagai bagian TBTI dibuka bagi para pengunjung TMII. Selain MHI, di TBTI juga terdapat Museum Cheng Ho atau Museum Peranakan yang terletak tepat di samping MHI. Setelah mengunjungi keduanya, saya menyadari bahwa taman dan kedua museum tersebut memang sarana yang sangat tepat sebagai media perekat budaya antara kaum pribumi dan Tionghoa di Indonesia.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/nisasan/bersatunya-tionghoa-dan-indonesia-di-taman-budaya-tmii_55289c2bf17e61a06a8b4587
Taman Budaya Tionghoa Indonesia (TBTI)
Taman ini sungguh tepat bagi Anda yang ingin menikmati sejuknya alam sekaligus mempelajari sejarah kaum Tionghoa di Indonesia. Bagi yang membawa buah hatinya, bisa menyewa perahu bebek dan naga yang disewakan di atas danau. TBTI juga menyediakan tempat duduk yang nyaman serta pendopo untuk berkumpul.Patung pahlawan nasional Laksamana Muda TNI John Lie di Taman Budaya Tionghoa-Indonesia TMII.
Bukti nyata nasionalisme masyarakat Tionghoa di Indonesia dapat dilihat dengan hadirnya patung pahlawan nasional John Lie atau Jahja Daniel Dharma (1911 – 1988). Patung Laksamana Muda TNI yang berbintang dua tersebut berada dalam posisi berdiri dengan tangan kirinya bertumpu pada pedang panjang sementara tangan kanannya memegang Injil (Alkitab). Selain berjiwa nasionalisme, masyarakat Tionghoa ternyata juga tetap mengenang tokoh leluhurnya yang bermoral mulia sehingga dapat dijadikan teladan bagi generasi penerusnya. Contohnya adalah patung Kwan Yu atau Guan Yu (140 -219 M). Jenderal ksatria yang setia, jujur, serta bijaksana dari marga Kwan tersebut memilih dihukum mati dan tetap setia pada negara yang dibelanya daripada harus menyerah sekalipun telah diiming-imingi harta oleh pihak lawan. Bahkan Kwan Yu kerap dipuja sebagai Dewa Kesetiaan (Kwan Sen Ti).
Jika ingin mengunjungi Museum Hakka dan Cheng Ho di TBTI, sebaiknya Anda melintasi Jembatan Kasih Sayang. Jembatan tersebut terletak tak jauh dari patung legenda cinta sejati yang abadi dan termasyhur dari Tiongkok, Sam Pek Eng Tay. Selain melalui Jembatan Kasih Sayang, pengunjung juga bisa menuju museum di TBTI melalui jalan lurus di dekat danau.
Museum Cheng Ho (Museum Peranakan)
Setelah puas berteduh di Taman Budaya, selanjutnya Anda bisa melanjutkan napak tilas tentang sejarah asimilasi atau pembauran marga Tionghoa di Indonesia dengan mengunjungi Museum Cheng Ho atau Museum Peranakan. Museum tersebut diberi nama dari pelaut muslim legendaris dari Tiongkok yang menjelajahi dunia, termasuk ke Indonesia. Daerah-daerah di Indonesia yang dilewati oleh Cheng Ho bersama armadanya antara lain Jakarta, Palembang, Deli, Aceh, Semarang, Surabaya, Tuban, dan Cirebon. Gedung museum merupakan sumbangan dari salah satu warga Tionghoa di Sentiur, Kalimantan Timur, Bapak H. M. Yos Sutomo. Museum Cheng Ho atau Museum Peranakan di TMII Di dalam Museum Cheng Ho, terdapat foto-foto dan sejarah singkat para tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia yang berasal dari marga Tionghoa. Mereka antara lain Oei Tiang Tjoei atau Permana (1893 – 1977) dan Yap Tjwan Bing (1910 – 1988) yang sama-sama berperan dalam persiapan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 sebagai anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Foto tokoh Tionghoa Indonesia yang berasal dari kalangan militer dan kini di masa pensiunnya aktif mengurus Taman Budaya, Him Tek Ji atau Brigjen TNI Purnawiran Tedy Jusuf juga terdapat di sana. Tokoh nasional dari etnis Tionghoa yang turut berjuang dalam kemerdekaan.
Dari kalangan akademisi, ada Profesor Tjan Tjoe Siem (1909 -1978) dari keluarga Tionghoa Muslim sebagai profesor Jawa Modern dan Dekan FSUI – sekarang FIB UI – dari tahun 1964 hingga 1968. Untuk penulis bermarga Tionghoa, ada Kho Ping Hoo atau Asmaraman Sukowati (1926 – 1994). Uniknya, meskipun banyak menulis cerita silat berlatar belakang Tiongkok, penulis yang tersohor dengan ceritanya tentang Pendekar Gunung Lawu tersebut tidak tidak menguasai kemampuan baca-tulis dalam bahasa Mandarin. Indonesia Kepadamu Kami Berbakti.
Selain sejarah, Museum Cheng Ho juga menyimpan foto dan koleksi sejarah budaya antara lain sepasang barongsai, Martavan atau guci besar dari keramik, batik peranakan, upacara pernikahan (Chio Tau), dan buku bacaan tentang yang berkaitan dengan marga Tionghoa di Indonesia.Koleksi motif batik peranakan di Museum Cheng Ho TMII.
Bagian dalam Museum Cheng Ho di Taman Budaya Tionghoa TMII (Dokpri) Hal menarik dari bangunan Museum Cheng Ho ini adalah bangunannya yang tetap sejuk dan terang meskipun lampu dan pendingin ruangan atau AC tidak dinyalakan. Setelah diperhatikan, langit-langit dan bangunan atap yang tinggi ternyata menjadi faktor penyebab bangunan tersebut sangat ramah lingkungan
Museum Hakka Indonesia (MHI)
Bagi kalian semua yang ingin mengetahui sejarah Tionghoa, kalian dapat mengunjungi Museum Hakka Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur. Di sini, kalian dapat menemukan cerita kedatangan orang Tionghoa ke Nusantara, profesi orang Tionghoa pada masa penjajahan Belanda, tokoh-tokoh Tionghoa yang berjasa kepada Indonesia hingga kesenian Tionghoa.
Terletak di depan Museum Listrik dan Energi Baru, Kalian akan disambut dengan bangunan bundar mirip benteng berwarna kuning pucat di seberang danau kecil. Pintu masuk coklat dari kayu jati siap mengantarkan Kalian ke dalam lembaran sejarah Tionghoa Indonesia. Ketika masuk, bersiaplah terkejut dengan lampu-lampu lampion yang menggantung di seluruh bagian atap museum. Musik instrumental khas Tiongkok mengalun pelan, suasana daratan Tiongkok pun terasa kental.
"Nama Museum Hakka Indonesia diambil dari nama subsuku Han yang bermigrasi dari Tiongkok bagian utara menuju Tiongkok bagian selatan. Hakka sendiri dalam bahasa Indonesia berarti tamu atau pendatang. Dari sejarahnya, bangsa Tionghoa sudah menjadi tamu dan hidup di banyak negara seperti Arab, India bahkan Nusantara," kata Surikin, Pengelola Museum Hakka Indonesia saat menemani Kompas.com , Jumat (6/2/2015).
Museum ini diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia periode 2009-2014, Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 30 Agustus 2014. Berdiri di atas tanah seluas 5.000 meter, bangunan ini mengambil konsep rumah tradisional Tulou yang terkenal, yaitu Zhenceng Lou, yang terletak di Yonding Fujian, Tiongkok Selatan. Surikin menuturkan bahwa bangunan yang menjadi tempat pemukiman orang-orang Hakka dulu terkesan tertutup karena pengaruh lingkungan yang tidak kondusif karena banyak peperangan.
Ia berharap museum ini dapat menjadi jembatan bagi masyarakat Indonesia untuk mengenal sejarah dan budaya Tionghoa pada umumnya dan Hakka pada khususnya. Ia juga berharap masyarakat luas dapat mengetahui keberadaan museum ini.
Museum Hakka Indonesia dibagi menjadi tiga bagian yaitu Museum Tionghoa Indonesia, Museum Hakka Indonesia, dan Museum Yodding Hakka Indonesia. Mempunyai tiga lantai, museum ini menyimpan koleksi-koleksi yang berhubungan dengan Tionghoa pada umumnya dan suku Hakka pada khususnya. Semua koleksi berasal dari sumbangan dari warga peranakan Hakka Tionghoa yang tinggal di Indonesia dan juga didatangkan langsung dari Tiongkok. Pada lantai dasar terdapat panggung, perpustakaan, ruangan pertemuan, dua pasang instalasi laki-laki dan perempuan berbahan kayu yang terletak di dua sudut dekat panggung yang dapat digunakan pengunjung untuk berfoto, dan ruang lobi tengah.
Sejarah Tionghoa terungkap melalui koleksi museum di sini. Ketika memasuki ruang pamer di lantai satu, gambar peta jalur perjalanan orang Tionghoa ke Nusantara, mangkok-mangkok, foto-foto pekerja, rempah-rempah hasil Indonesia yang dibawa pedagang Tionghoa dan koleksi lukisan terpajang berjejer di dinding. Di ruangan yang berbentuk setengah lingkaran ini serasa menghisap Anda masuk ke lorong waktu menuju Tionghoa.
Koleksi di lantai dua museum ini sangat bervariasi. Mulai dari mangkok-mangkok keramik, koper-koper, tempat penyimpanan barang beserta gembok asli, arsip-arsip tua yang dituliskan karakter Han, alat-alat pertanian, tandu orang Hakka, daftar orang-orang Hakka Indonesia yang berpartisipasi dalam pembangunan, gambang kromong, wayang Potehi, kebaya peranakan Tionghoa, dan berbagai koleksi artefak dan pusaka yang berhubungan dengan kebudayaan Tionghoa.
Pada lantai tiga, bentuk ruang koleksi masih sama dengan ruang sebelumnya. Pengunjung masuk dan keluar dari pintu yang berbeda. Di ruangan ini merupakan tempat koleksi Museum Yodding Hakka Indonesia. Di dalam ruangan ini menceritakan sejarah Yodding Hakka di Indonesia, tentang pembangunan Tolou, tokoh-tokoh Yodding, beserta kegiatan sosial yang dilakukan. Selain itu, pengunjung dapat melihat jenis peralatan toko obat Tionghoa beserta contoh-contoh obat jamu.
Untuk mengunjungi museum ini, Kalian dapat datang pada hari Selasa hingga Minggu. Jam buka museum ini mulai dari pukul 09.00 - 16.00 WIB. Ketika berada di museum ini, pengunjung akan ditemani dengan pemandu yang akan memberikan informasi seputar koleksi yang ada,dan Kalianpun tidak perlu takut kepanasan karna dimuseum ini sangat sejuk dan dingin lalu kalian pun difasilitasi oleh lift jika kalian capek untuk menaiki tangga,dimuseum inipun terdapat kamar mandi disetiap lantainya dan kamar mandinya pun bersih,wangi tidak kotor sama sekali dan kitapun merasa nyaman apabila kita berada didalam museum Tionghoa ini.Di museum Tionghoa pengunjung yang datang tidak dikenakan biaya masuk alias gratis hanya saja dikenai biaya pada saat masuk ke TMII nya sebesar 10.000/orang nya. Jika kalian ingin mengatahui sejarah tentang Tionghoa lebih jauh Museum Hakka Indonesia ini adalah tempat yang tepat untuk dikunjungi.